Berawal dari kemalasan saya memesan kursi di bus OrangeWays jurusan Budapest ke Ljubljana, saya pun bingung setengah mati saat ngeliat kursinya SOLD OUT, 2 hari sebelum sampai di Budapest. Bukan apa-apa, dalam ketidakpastian tanggal berangkat, saya memilih booking tiket transportasi beberapa hari sebelum berangkat saja dibandingkan diurus semua di awal supaya lebih fleksibel. Sebenernya bisa santai aja kalo kehabisan kursi OrangeWays, tapi pilihan lainnya adalah naik Eurolines yang jadwalnya hanya 3 kali seminggu atau naik kereta yang mahal. Pilihan sulit.

Saat menunggu Edith menjemput saya di Terminal Bus Nepliget di kota Budapest, saya menyempatkan diri ke loket bus Eurolines.

"Hi, do you have any connection to Ljubljana on Wednesday?" tanya saya ke cowok Hungarian ganteng di balik loket.
"I am sorry, it is already full booked."
"Okay, how about Thursday?"
"The only connection available is next Monday."
"Monday?" jerit saya. "Do you sell tickets from another bus line? Besides Eurolines?" tanya saya mulai frustrasi. 
"No, we only sell Eurolines tickets."
"Köszönöm," saya mengucapkan terima kasih dalam Magyar yang saya sendiri gak tahu pengucapannya gimana. 

Malam itu saya diajak Edith jalan-jalan diantar mobil bersama Ranjee, gadis India yang cheerful, sesama member Couchsurfing yang menginap di apartemen Edith. Gila, Budapest KEREN ABIS. Paris lewaaaat! Edith adalah guru sejarah SMA jadi setiap dia memperkenalkan suatu bangunan, dia pasti menjelaskan fakta-fakta sejarahnya. Budapest pada malam hari bener-bener kaya lampu, semua bangunan utama di kedua sisi Danube diterangi lampu kuning super silau yang bikin kagum. 

Besok harinya, saya diantar Edith ke stasiun utama Keleti untuk membeli tiket kereta karena nggak bisa dibeli via online. Kebetulan Ranjee mau bertolak ke Presov di Slovakia, jadi kami pergi bersama. Kami peluk-pelukan sebelum Ranjee masuk ke keretanya, "Putri, you have to visit me in Delhi! Promise me." Janji itu belum bisa saya tepati, sponsorin dong, hehehe.

Saya suka fasad Stasiun Keleti ini! Keren banget 
Edith mengantarkan saya ke loket pembelian tiket internasional di stasiun lalu mengambil nomor antrian. Saya dapet nomor 57. Edith langsung nyerocos. "This is insane, you have to wait 4 hours!" 

Saya buru-buru memelototi kertas kecil itu, damn, masih antrian awal-awal. Dan kayaknya bener juga perkiraan Edith. Nggak mungkin juga saya tinggalin dan kembali lagi besok karena dalam H-3 keberangkatan ada booking charge yang lumayan mahal. Sebagai backpacker miskin, saya harus teguh mencari yang murah!

Saya lalu mengambil tempat duduk, Edith sudah kembali pulang karena nggak bisa nemenin saya yang harus mengantri. Berbeda dengan stasiun-stasiun besar di Eropa Barat seperti di Jerman yang udah futuristik abis, kantor pemasaran tiket internasional ini kecil, pake kipas angin, dan loket yang dibuka hanya sedikit! Nggak mau bengong aja di ruang tunggu, saya pun keluar, memanfaatkan tiket Budapest 24 jam yang sudah saya beli.

Ruang tunggu (antrian panjang) dengan banyak loket yang ditutup, hih!
Setelah mubeng-mubeng Budapest, saya kembali ke ruang tunggu penjualan tiket di stasiun Keleti. Masih lamaaaa... nomor berjalan lambat sekali karena setelah curi-curi dengar banyak yang punya masalah. Ketinggalan connection lah, mau beli tapi rutenya masih nggak tahu lah, bahkan ada yang nyuri-nyuri nitip. KZL.

Akhirnya giliran saya datang!

"Hi, could you please book a train ticket from Budapest to Ljubljana on Wednesday?" tanya saya dengan sopan santun ke ibu-ibu di balik loket. Untungnya semua bisa berbahasa Inggris.
"Sure, let me check it for you." Dia lalu mengetik-ngetik di komputernya. "Yes, on Wednesday at 15.00, 9 hours straight to Ljubljana."
"No connection? So I don't have to change trains?" tanya saya memastikan kalau saya harus naik kereta itu saja tanpa pindah-pindah.
"Yes."
"1 ticket please. How much?"
"42 euros. Include seat reservation."
Makjang. Mahal amat. "Can I pay it in forint? How much in forint?"
"Yes, you can. It is 13.060 forint."
Saya lalu mengeluarkan berlembar-lembar uang forint untuk membayarnya. Dengan tiket di tangan dan hati yang lesu karena baru ngeluarin uang yang banyak sekali, saya pun keliling kota Budapest lagi di malam hari, khususnya di area Castle Hill.

Dua hari kemudian, setelah berpisah dengan Erika, yang menjadi host saya setelah Edith, saya pergi ke Keleti untuk pindah ke Ljubljana! Saya udah excited banget karena ada Tina yang menunggu saya di sana dan hasil searching, Slovenia bagus pake banget. Karena tiket Budapest 24 jam saya expire jam 12 siang, sementara saya gak punya forint lagi buat beli tiket lain, akhirnya saya sampai di stasiun kecepetan. Nggak papa, saya suka ngeliatin kereta-kereta yang datang dan pergi.

Memasuki jadwal boarding kereta, saya masuk dan mencari gerbong saya lalu masuk di kompartemen dengan kursi bernomor. Norak karena baru pertama kali naik kereta kompartemen, saya bahagia dan menunggu 9 jam menyenangkan di kereta ini sampai Ljubljana.

Tapi ternyata tidak...

Karena ada pengerjaan rel kereta, dari kota Sárbogárd ke Kaposvár kami dipaksa turun semua untuk melanjutkan perjalanan dengan bus. Yep, dengan bus. Bayangin hiruk pikuknya, semua penumpang turun, membawa bawaan berat masing-masing, lalu berbondong-bondong memilih bus yang akan ditumpangi. Saya terpaksa naik bus belakangan karena banyak yang sudah penuh.

Sunflowers field: gak bisa dilihat setiap hari. Sorry agak ngeblur, ngambil fotonya dari bus yang berjalan :)
Perjalanan di bus memakan waktu 2 jam, sepanjang perjalanan saya melihat banyak kebun bunga matahari yang bagus banget. Rasanya pengen turun lalu lari-larian di sana. Sampai di stasiun Kaposvár, capek dan mumet karena harus pindah-pindah, kami menunggu kereta menuju Ljubljana. Namun yang datang hanyalah kereta ke Zagreb dengan 4 gerbong saja sementara kereta kami sebelumnya ada 6 gerbong.

Apa yang terjadi? Kereta overloaded. Semua memaksa naik. Pas saya sudah di dalam gerbong, lalu lintas di dalamnya stuck gak bergerak. Saya bingung, "Kenapa gak ada yang bisa masuk? Kok stuck begini sih!" Beberapa menit, antrian masuk tidak bergerak juga, tapi kereta sudah mulai jalan lagi. Ini gila, ini gila... masak di dalem kereta penuh sekali? Berjalanlah kereta tanpa ada petugas yang peduli bahwa sebagian besar penumpang duduk di lantai. Tak ada satu pun pengumuman, tak ada penjelasan, tak ada petugas terlihat. Bahkan lantai pun penuh dengan manusia dan backpack atau koper.

Mulai desperate...
Bagi yang beruntung, mereka dapet tempat duduk di kompartemen dan kursi non-kompartemen. Tapi jumlah kursi tak sebanding dengan jumlah penumpang. Saya akhirnya menduduki backpack saya, dikelilingi ABG Irish yang berisik dan ketawa-ketiwi. Beberapa akhirnya pasrah, terduduk membaca buku, ada yang main kartu, bahkan ada yang sempat-sempatnya tidur.

Di dalam hati, perasaan saya campur aduk. Marah, kesal, dan bertanya-tanya, kalau kereta ini hanya sampai Zagreb, gimana ke Ljubljana-nya? Semua ini saya bayar 42 euro, dan saya duduk di lantai! Kalau ada petugas di situ, mungkin sudah habis disemprot oleh kami semua. Sayangnya, tak ada petugas, tak ada solusi, tak ada penjelasan.

Matahari mulai terbenam pukul setengah 10 malam dan tak ada tanda-tanda akan sampai di Zagreb. Lalu saya tertidur dengan posisi duduk di atas backpack. Saya berterima kasih sama badan saya karena gak kepengen pipis sementara banyak yang ributin toilet.

Di Indonesia aja, saya belum pernah ngemper di lantai kereta, hih!
Kereta berhenti. Lalu kami bertanya-tanya ada apa. Seseorang menyuruh kamu menyiapkan paspor, oh imigrasi... Semoga ada yang bisa memberikan solusi! Amin! Beberapa menit kemudian, polisi imigrasi mulai menyeruak, mengecek paspor satu per satu. Buat paspor negara berkembang, paspornya cuma dilihat sebentar dan dicap. Saya tidak, petugas harus mencatat nama saya. Yang mengecek paspor duluan adalah imigrasi Hungaria lalu imigrasi Kroasia. 2 cap langsung saya terima saat itu. Kereta mulai berjalan lagi. APA? Imigrasi juga gak bisa ngapa-ngapain ngeliat kereta kita yang kayak kereta barang? GILA! Gak ada solusi banget!

Total 5 jam kami habiskan di dalam kereta neraka itu. Saya capek dan marah. Zagreb Glavni Kolodvor mendekat di depan mata. Kami girang bukan main. Saya ikutan turun ke peron kereta. Sebagian besar penumpang berlari-lari mengejar kereta lanjutan, ada yang ke Dubrovnik dan Split. Sementara saya pikir cepat, langsung ke loket informasi mengenai kereta menuju Ljubljana. Ternyata di depan loket sudah terdapat 4 orang yang sama-sama menuju Ljubljana.

"The last train is already took off," kata cewek Irlandia yang saya tanyai. Kami tak punya pilihan lain kecuali menginap di Zagreb dan naik kereta besok pagi-pagi.

"And my ticket is valid for tomorrow journey?" tanya saya ke petugas. Itu yang penting buat saya. Saya gak mau bayar lagi buat kereta besok! Cukup sudah
"Yes, your ticket will be okay."

Akhirnya kami berlima mendapatkan informasi hostel terdekat dari stasiun dari petugas. Saya terpaksa menarik ATM 200 kuna Kroasia untuk membayar hostel 1 malam. Sial, sial, siaaaaal! Kami berkenalan, ada Adrianna dari Kanada, John dari Amerika Serikat, dan David from Australia, serta cewek Irlandia, Hannah. 

Besok paginya karena hujan lebat mengguyur Zagreb, kami memutuskan untuk naik kereta siang saja. Saya lalu bergelung di dalam selimut dan bermalas-malasan. Di dalam kereta melintas Slovenia, kami kembali mengalami pengecekkan paspor dan tiket kami baik-baik saja. Kagum melihat pemandangan Slovenia, saya tidak tidur sepanjang perjalanan, biasanya kan saya gampang banget tidur.

Lalu saya mengobrol dengan John yang sudah pernah ke Indonesia dan Jakarta. "Your capital is crazy. Traffic jam everywhere. Everyone use mopeds. Crazy, you live there." Saya mengangguk saja mengiyakan. Emang bener sih. Saat kereta berhenti di peron, kami semua berpisah di Stasiun Ljubljana dan saya mencari Tina yang sudah menunggu saya.

"Oh, Tina, you never know what I've been up to!" Saya memeluknya.

21 jam menuju Ljubljana. 42 euro untuk segala kesialan ini. 4 cap masuk-keluar. Seumur hidup akan diingat. Hungarian Railway, you suck.
Read More
Tulisan kali ini saya nggak ngomong tentang indahnya kota di Eropa (tulisan tentang Budapest on the way!). Tapi lebih ke berbagi gimana rasanya jalan sendirian dan kenapa jalan sendiri itu perlu buat kita. Sebelum berangkat pergi ke Eropa selama 2 bulan, saya udah merencanakannya jauh bertahun-tahun sebelumnya. Saya cuma tahu saya harus ke sana, apa pun yang terjadi, sebelum umur 26 tahun. Ketika momennya sudah ada, saya lalu bingung, "Sendirian, nih?" 

Waktu itu pertanyaan ini belum bisa dijawab. 60% saya yakin saya akan jalan sendiri saja. Kenapa saya nggak cari temen? Karena sebagai super-introvert, saya lebih suka jalan bareng sahabat atau teman yang sudah kenal dekat. Masalahnya, nggak semua teman punya bujet dan waktu yang sama. Dan nggak semua orang mau resign dari pekerjaannya yang sekarang. Akhirnya, sudah pasti saya jalan sendiri. "Kalau nunggu temen terus, kapan jalannya?" Oke, fix!

Pose favorit traveling sendirian
Sebelum pergi banyak banget pertanyaan "Gimana kalo...?" di kepala. Gimana kalo nanti ketinggalan pesawat? Gimana kalo nanti saya gak dicuekin orang Prancis karena pake Bahasa Inggris? Gimana kalo nanti saya dicopet? Paspor hilang? Uang habis di tengah jalan? Diopname? Kecelakaan? Nyasar? Aaaaarghhh... Banyak banget maju mundur di kepala, kayak pas visa udah di tangan atau tiket udah dibeli, saya sempet juga loh mikir, "Serem ih! Apa nggak usah aja ya?" Kalau pikiran udah mulai ngeres gitu, saya biasanya inget quote ini: "Whenever you want to give up, remember why you're started."

Hari itu akhirnya datang juga. Dua jam sebelum take-off ke Kuala Lumpur, saya memeluk keluarga saya untuk berpetualang sendiri. Dengan backpack 11 kilo di bahu, saya terus jalan sampai akhirnya sampai di kolong Menara Eiffel. Hari-hari berikutnya saya ketemu teman-teman baru, nyoba makanan asing, nganga ngeliat landmark, nyasar, nonton pengamen, ketiduran di bus, lari-lari ngejar tram, makan gelato sampe eneg, baca buku di taman, disangka orang Filipina, salah naik kereta, puasa 18 jam, dimarahin supir bus di Ceko, digigit anjing, ketinggalan kereta, sampai mewek pisah sama temen. Sepulangnya, saya sadar kalau orang khususnya cewek backpacking sendirian banyak manfaat buat diri sendiri.



Approachable
Dalam arti positif, kita lebih mudah didekati dan mendekati orang. Dalam perjalanan di kereta dari Amsterdam, seorang perempuan imigran Suriname mencolek saya dengan ramah, "Where are you from?" Dari situlah kami mulai ngobrol, dia kagum sama saya *uhuk* karena berani pergi jauh sendirian. Waktu saya salah naik kereta dan mau pinjam ponsel orang buat nelepon host, seorang cewek Belanda dengan senang hati meminjamkan ponselnya dan mengantarkan saya ke peron yang benar. Waktu di Paris, ada Couchsurfer dari Mesir yang nraktir saya makan siang di restoran karena dia suka Indonesia dan senang punya teman orang Indonesia. Waktu di Brno pun karena uang saya kurang buat beli tiket di dalam bus dan saya dimarah-marahi sama supir, ada ibu-ibu yang memberi saya tiket. Mungkin karena kesannya rapuh, cewek yang pergi sendirian gampang diminta bantuan dan dibantu orang lain. In a positive way, of course...

Independent dan Decisive
Pergi sendirian itu ribet, semua harus diurus sedetail-detailnya sendiri. Mulai dari nyusun dokumen untuk aplikasi visa, riset harga tiket, beli tiket, booking tiket, cari penginapan sendiri, jalan sendirian, navigasi sendiri. Nggak ada yang bantuin dan harus memutuskan semuanya sendiri. Kedengarannya gampang, tapi kalau sudah sendirian di kota yang bahasanya asing, makanannya nggak enak, transportasinya susah dipelajari, atau yang lain, pasti ada rasa cemas walaupun sedikit. Kalau sudah bertemu masalah, kita harus cepat mengambil keputusan dan traveling adalah salah satu latihan terbaik. Disitulah momen independency kita diuji.

Philosophical
Entah ini bisa ke semua orang atau enggak, tapi saat sendirian, saya ngerasa lebih kontemplatif. Ada aja yang dipikirin, mulai dari mau ngapain di masa depan, tentang karir, tentang cinta *uhuk*, tentang pindah, tentang tua, macem-macem. Kurang ngerti juga sih waktu itu kenapa diserang momen ini, mungkin karena kebanyakan sendiri dan nggak ada teman ngobrol, saya jadi ngobrol dengan diri sendiri. Dan momen ini pun akhirnya jadi ingatan atau reminder saat sudah pulang. Kita jadi dapet jawaban-jawaban hidup yang mungkin gak kepikiran di rumah.

Rose line di The Davinci Code di dalem Museum Louvre
Navigate Better
Sebagian besar cewek punya kemampuan spasial yang kurang, termasuk saya. Susah baca peta, muter-muterin peta buat sesuaiin arah, sampe kebalik antara kiri dan kanan. Di sana kita dituntut mandiri untuk pelajari peta rute bus, metro atau tram dan harus tahu turun di mana. Sepengalaman saya, rute paling rumit adalah transportasi kota Berlin dan Paris, cukup waktu lama orientasinya. Walaupun traveling sendiri nggak bisa ngubah drastis, tapi paling nggak saya bisa baca peta dan akhirnya nggak nyasar lagi. Saya lebih sering nyasar di Jakarta daripada di sana.

Broad-minded
Traveler yang baik kalau pergi ke suatu tempat, dia harus bisa menempatkan diri di lokasi itu. Dia harus bisa menerima kebiasaan dan kebudayaan yang ada di sana. Berbicara tentang agama atau minuman alkohol adalah topik nyerempet favorit saya. Sebagai pendengar yang baik, komplen orang-orang Eropa sana tentang Tuhan dan agama membentuk respek baru dari saya. Bukan saya langsung telen mentah-mentah apa yang mereka pikirin, tapi saya menghargai apapun keputusan dan pendapat mereka. Toleransi jadi tinggi, dan berteman tetap jalan. Kayaknya memang orang ektrimis bersorban yang biasa kita lihat di TV kurang piknik!

Kalau nyentuh giginya, katanya bisa kembali lagi Wroclaw. Mau banget!
Itu sih yang paling penting... Selain itu, traveling juga melatih pembentukan karakter yang decisive, determined, fearless, intuitive, reliable, self-disciplined, dan versatile. Banyak yah? Tuh, kan, traveling tuh bener-bener university of life deh...

-@travelitarius traveling is a education that we couldn't find it in school
Read More
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home