Mumpung lagi tidak banyak tugas dan hari ini adalah ulang tahun saya ke-26, saya menyempatkan diri untuk menulis pengalaman berharga dalam hidup saya. Tentang bagaimana saya mengambil keputusan untuk resign dari pekerjaan untuk traveling keliling Eropa. Cerita ini sih murni sharing, bukan bermaksud menginspirasi pembaca untuk ikut-ikutan resign juga, hehehe...

Rencana ke Eropa, apapun caranya, sudah saya rencanakan sejak zaman kuliah. Mimpinya sendiri dimulai ketika saya sebagai anak, banyak membaca buku-buku pengetahuan bergambar yang dibelikan orang tua. National Geographic USA adalah favorit saya dari kecil karena Papa berlangganan majalah itu. Walaupun saya nggak bisa membacanya karena belum lancar berbahasa Inggris, saya suka melihat-lihat gambarnya. Lalu karena di rumah ada parabola, saya menonton acara-acara asing setiap hari. Dunia luar begitu terekspos kepada saya. Pernah tinggal di Jayapura, Timika, dan Pontianak membuat wawasan saya tentang traveling semakin terbuka. Belum lagi sejak kecil saya sering diajak orang tua keliling Indonesia, menggunakan berbagai macam transportasi, mulai dari kapal Pelni, pesawat Garuda, pesawat Hercules, kereta api, dan yang paling sering mobil untuk road trip. Oooh, ternyata dunia ini luas!
Contoh foto powerful yang akhirnya menginspirasi saya untuk jalan-jalan
(Image courtesy of Lynsey Addario - National Geographic Magazine)
Geografi adalah mata pelajaran favorit saya. Sewaktu SD, saya hafal nama-nama dan ibukota negara-negara di dunia. Sekarang mah udah lupa. Nggak ada alasan penting sih kenapa suka geografi, suka aja liat peta dunia. Atlas adalah buku yang sering saya buka-buka berkali-kali dan buku yang rusak pertama kali karena seringnya saya pakai. Dan saya suka bermain "mencari kota" menggunakan atlas dengan adik saya. Tentu saja, waktu itu saya penasaran banget sama negara Uni Soviet (waktu itu atlas cetakan lama) yang raksasa dan diberi warna merah oleh penerbit. Negara apaan sih itu? Ada apa di dalamnya?

Rasa penasaran saya semakin ditambah dengan passion saya dengan arsitektur dan seni. Gereja Katedral dan Kawasan Kota Tua adalah bangunan yang saya kagumi karena sejarah dan desainnya. Saya pengen lihat lebih banyak lagi! Di mana lagi pusat arsitektur dan seni dunia selain di Benua Eropa? Saya pun sering meminjam buku-buku seni di perpustakaan sekolah. Saat teman-teman ngedumel setengah mati ketika mendapatkan tugas membuat maket rumah sesuai rancang bangun yang sudah dibuat, dan menatanya menjadi sebuah kota mini, saya melakukannya dengan senang hati. Miniatur rumah yang saya buat lengkap dengan cat warna-warni dan mobil-mobilan. Ketika akan lulus SMA, S1 Arsitektur UI adalah incaran saya karena passion saya yang begitu tinggi pada bidang ini. Eh, gak kesampean. Hiks. Yang penting masih UI deh, hehehe...

Kombinasi penasaran dengan dunia luar dan minat tinggi ke seni dan arsitektur akhirnya mengerucut menjadi sebuah rencana: saya harus bisa ke Eropa sebelum 26 tahun!

Ketika menjadi mahasiswa, saya berpikir keras bagaimana caranya saya ke Eropa. Karena masih mahasiswa miskin, mana mampu saya bayar sendiri ke sana. Akhirnya saya cari yang gratisan. Sempat diterima di International Youth Leadership Conference di Praha, namun tidak jadi berangkat karena nggak dapat sponsor. Sempet apply beasiswa summer course di Italia dan Portugal tapi gak lolos. Nggak putus asa, saya berjanji lulus tepat waktu, dapat kerja, nabung, dan pergi ke Eropa.

Setelah mendapatkan pekerjaan stabil yang pertama, saya langsung buka rekening tabungan yang nggak ada biaya administrasinya. Saya nggak mau hasil nabung susah payah dipotong setiap bulan. Selama 24 bulan, saya konsisten menabung 50% dari gaji, kalau ada uang lebih seperti THR dan bonus tahunan, nabungnya bisa lebih banyak. Susah? Banget. Ini adalah skala prioritas, saya sengaja nggak belanja banyak baju, sepatu, dan lain-lain karena lebih baik uang itu saya simpan.

Ajakan teman-teman untuk liburan ke luar kota juga sengaja saya skip karena prioritas saya adalah menabung. Saya nahan diri dengan mikir, "Uang itu mendingan buat lo makan di Eropa, Put." Yes, I was hard to myself. 

Ketika resign, bos saya mengapresiasi keberanian saya waktu itu. Dia melepas saya dengan kekaguman. Waktu itu saya nggak ada pikiran atau ketakutan apa pun kalau saya akan susah dapet pekerjaan lagi. Gimana enggak, kantor dengan fasilitas oke, bonus tahunan, sudah diangkat jadi karyawan tetap, mau apa lagi? Tapi saya, bos, dan teman-teman saya percaya bahwa life starts outside the comfort zone. Orang tua saya mendukung sepenuhnya, saya nggak pernah dilarang-larang pergi dan nyokap saya percaya sepenuhnya pada saya. The feeling was amazing, I could explore the world with everybody support me.

Dan, tercapailah mimpi saya... Pergi mengeksplor Eropa sebelum 26 tahun, sebelum hari ini...

Why I travel is because I want to travel, to know the unknown, to be further than anyone else, to find the essence of life, to find another home, to prove what people said are wrong, to push myself to the limit, to set my bar much higher than before, and to be me. 

-@travelitarius Peregrinaro, ergo sum. I travel, therefore I am.
Read More
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home