April lalu saya berkesempatan untuk mengunjungi Myanmar, negara Asia
Tenggara keempat yang saya kunjungi. Kenapa Myanmar? Temen saya juga pada
nanya, “Random banget lu ke sana!”,
“Liat apaan di sana?” Tapi karena tiket pesawatnya cuma Rp 500.000-an pulang
pergi dari KL, sayang banget dilewatin kan? Lagi pula, sebagai negara yang baru
saja membuka diri terhadap dunia luar, saya penasaran negara ini isinya apa.
Saya suka nih negara yang kayak gitu, less
tourists, more experiences.
Seminggu sebelum berangkat, saya nervous
berat, sakit perut. Selain karena saya berangkat ke negeri antah berantah
sendirian, saya juga banyak baca hal-hal jelek tentang Myanmar, misalnya sinyal
wifi jarang ditemukan, jarang yang bisa Bahasa Inggris, jalannya jelek, ke
mana-mana mesti naik taksi, dan segala macem lainnya. Tapi the show must go on. Saya pun berangkat ke negara beribukota Nay
Pyi Daw ini (bukan Yangon lagi loh ya).
Berikut hal-hal yang perlu diketahui sebelum pergi ke Myanmar, versi saya J
Di depan gerbang Mandalay Palace, dengan latar Mandalay Hills |
1. Myanmar sudah bebas visa 15 hari
kalau kita masuk dari bandara-bandara utamanya. Untuk jalur darat, visa
harus dibuat di Kedubes Myanmar di Jakarta. Nah lho, saya aja baru tahu kalo
ada perwakilannya di Indonesia, hehehe. Karena waktu itu saya sampai di Yangon
International Airport, jadi tinggal cap-cap imigrasi dan bebas masuk ke sana.
2. Mata uang negara ini adalah kyat, dibacanya chat dan dijamin, susah
banget mau nuker uang kyat ini di Indonesia. Nggak usah pusing, cukup bawa kartu ATM-mu dan beberapa
lembar uang USD yang bersih, rapi, mulus
ke sana. Kenapa mesti mulus, ntar di poin lain. Waktu itu, uang dolar yang
sudah saya siapkan berhati-hati supaya nggak cacat sedikit pun ketinggalan
dengan sukses di rumah. Akhirnya saya nervous
juga pas nyampe di airport. Saya memang berniat mengambil uang saja di ATM,
tapi gimana kalo mesinnya rusak? Trus saya nggak punya uang sepeser pun? Ternyata
mulus banget ngambil uangnya. Saya pun keluar airport dengan gembira.
3. Transportasi yang umum dipakai
turis ke Yangon adalah taksi. Bahkan orang lokal sering memakainya. Di
sini, saya lebih sering naik taksi dari pada di Jakarta sekalipun. Kenapa?
Karena bus susah dipelajari. Bayangin aja, bus rongsok ala PPD jadul, dengan
tulisan cacing meliuk-liuk, malah busnya dipenuhi manusia sampai ke atap, yang
ada saya malah nyasar-nyasar. Saran saya, pergilah berempat bersama teman agar
sharing ongkos taksi, atau cari teman turis yang bisa diajak sharing supaya
lebih murah. Taksi di sana tanpa argo, kita harus tawar menawar dulu sebelum
naik. Tapi, biasanya supir taksi nggak berusaha nipu tarif untuk turis, jadi
harga yang mereka patok bisa jadi memang harga
yang sudah fair. Saya suka naik taksi di sana karena kebanyakan mereka bisa
berbahasa Inggris dan bisa diajak ngobrol tentang negara mereka.
4. Longyi. Longyi adalah istilah mereka untuk menyebut pakaian bawahan mereka yang berbentuk seperti sarung. Hampir 100%
orang Myanmar menggunakan longyi untuk kegiatan sehari-hari. Cara mengikat
longyi juga berbeda untuk laki-laki dan perempuan. Kalau motif longyi untuk
perempuan lebih colorful dan beragam, sementara laki-laki plain kotak-kotak
kecil saja. Kenapa bentuknya sarung? Meeen, di sana mataharinya ada empat,
puanas pol sekaligus kering, sarung adalah bawahan yang nyaman dipakai karena anginnya semilir, wong mereka cuma
pakai celana dalam di bawahnya, hahaha. Pas saya ditanya tukang ojek yang lagi
mangkal asal saya dari mana, saya bilang dari Indonesia, “Aaah... Borobudur. And Indonesia makes a good longyi.” Saya
membenarkan juga, soalnya pas saya bawa oleh-oleh longyi buat Papa saya, saya
pegang, bahan sarung Indonesia lebih
adem dan motifnya beragam.
Tipikal transportasi umum di Myanmar. Foto bus ini diambil di kota Bagan |
5. Thanaka. Bedak alamiah ala Myanmar ini berasal dari pohon thanaka yang batang pohonnya dicampur sedikit air, diserut
halus, lalu dikeringkan sehingga berbentuk bubuk putih. Ini adalah kosmetik
wajib bagi perempuan Myanmar, mereka membalurkannya ke wajah sehingga semua wajah mereka bernoda-noda putih. Bedak
ini dingin dipakai di wajah, cukup efektif menahan panas matahari yang
menyengat dan membuat kulit semakin sehat. Pernah lihat wajahnya Aung San Suu
Kyi yang cantik itu kan? Umurnya udah 70 meeen! Manjur banget kan bedak ini
*brb pakai thanaka*
6. Budaya minum teh di sini sangat
kental. Setiap sudut jalan pasti ada tempat nongkrong minum-minum dan teh selalu jadi minuman
utama, diselingi dengan makanan-makanan berat dan ringan. Orang nongkrong pagi,
siang, dan malam, duduk-duduk ngobrol sambil makan minum. Bahkan di setiap
restoran, teh selalu disajikan di setiap
meja dan gratis. Dan yang lebih okenya, ini pure subjektif, semua teh yang saya minum di Myanmar, semuanya
enak! Teh mereka tuh seperti perpaduan teh hijau dan teh hitam, tanpa gula
sudah terasa manisnya. Makanya pas pulang, saya borong teh buat di rumah.
7. Banyak yang bilang jalanan di
Myanmar masih jelek, iya ada benarnya. Untuk Yangon, jalan raya lebar-lebar
dan beraspal mulus. Mulai ke pinggiran, seperti perjalanan 9 jam ke Mandalay
dari Yangon yang melewati desa-desa, masih banyak jalan yang berlubang-lubang
sehingga perjalanan kurang nyaman. Mendekati Mandalay, jalan kembali mulus.
8. Seperti orang Papua, orang
Myanmar suka sekali mengunyah pinang. Saking banyaknya ludah pinang di
jalan, saya sampe udah nggak peduli lagi mau nginjek atau enggak. Menurut tur
guide Free Yangon Walks, pemerintah
sekarang sudah mulai kampanye pengurangan konsumsi pinang untuk menjaga
kebersihan kota. Tapi, seems like nobody
cares...
9. Jangan bayangin orang-orang Myanmar masih terbelakang dalam hal
teknologi. Walaupun jaringan wi-fi hanya dimiliki hotel, mereka bisa akses
internet melalui mobile data. Beberapa
tahun yang lalu harga nomor perdana itu USD 1.000, mahal banget kan... Ketika
sudah membuka diri, bandingkan harga jaman sekarang yang USD 10 dan sudah
dijual di pinggir jalan persis kayak di Indonesia. Sudah banyak sekali yang punya smartphone, bahkan teman saya yang sais delman di
Bagan kegirangan sendiri melihat Asus Zenfone 6 saya karena sama dengan
ponselnya. Loh? Akhirnya kita ngobrol, “Lu kemaren belinya berapa?” tanya saya.
“USD 250,” kata dia cengengesan. “Kok murahan elo sih?” Saya misuh-misuh
sekaligus lucu sendiri, kok bisa... Dan seperti orang yang norak baru punya smartphone, dia minta di-add Facebook-nya. Lah!
10. Walaupun sebagian besar penduduk Myanmar masih miskin, kuil-kuil di sana terbuat dari emas. Shwedagon
Pagoda, kuil terbesar di negara ini dengan tinggi 112 meter, hampir setinggi
Monas, dilapis emas batangan. Bagian atas dari bangunan stupa tersebut dihias
5000 butir berlian dan 2000 batu rubi. Puncaknya terdapat berlian 76 karat
seberat 15 gram. Gila gak sih? Hebatnya, mereka rajin sekali sembahyang ke
kuil, bahkan ketika hari kerja, kuil-kuil dipenuhi dengan umat. Kotak amalnya
penuh dengan uang, saya jadi miris sendiri, mereka mengutamakan membangun rumah Tuhan dibandingkan rumah sendiri.
Masih banyak cerita tentang Myanmar yang pengen saya tulis. Tapi apa daya, tugas dosen juga banyak yang harus ditulis, huhuhu...
Dusty old Bagan |
Shwedagon Paya: kuil terbesar di Myanmar, dilapis emas |
-@travelitarius thank God I live in Jakarta, instead of Yangon