Disclaimer: tulisan ini pernah dimasukkan ke www.catperku.com sebagai Guest Post

--------------------------------------------------------

Setelah ngumpulin pengalaman jalan-jalan di negara maju yang jauh lebih baik dari Indonesia dari segi ekonomi, infrastruktur dan pemerintahan, entah setan apa yang menghasut saya beli tiket ke Yangon, Myanmar. Pembeliannya pun cukup impulsif karena harga tiket PP-nya dari KL hanya 500 ribu rupiah. Dari awal saya memang tidak punya ekspektasi tinggi terhadap negara ini karena sebagai negara yang masih membuka diri, pasti nggak gampang traveling di sini, apalagi sendirian.

Setelah struggling dengan gigitan bed bugs di hostel busuk KL, berangkatlah saya ke KLIA2 untuk terbang ke Yangon. Sebelumnya, penerbangan saya ini di-reschedule jam berangkatnya sehingga kedatangan di Yangon sekitar 19.30 setempat. Ini jelas-jelas membuat saya gelisah karena saya sudah booking tiket bus malam JJ Express dari Yangon ke Bagan jam 20.00. Saya berusaha mereka-reka adegan gimana caranya dari turun pesawat sampai ke Terminal Bus Aung Mingalar dalam 25 menit. Imajinasi ini termasuk adegan lari secepat The Flash, lompatin loket imigrasi, sampai nge-drift pake taksi lokal. Huh, mustahil.

First encounter saya dengan orang Myanmar adalah di gate keberangkatan. Saya melihat wajah tipikal orang Asia Tenggara yang biasa ditemui di Thailand atau Kamboja. Wajah pria-prianya hitam dan wanita-wanitanya putih dengan dibalur bedak putih. Bedanya, pakaian mereka saya anggap norak karena suka pakai berlapis-lapis dan tabrak warna. Beberapa prianya juga mengecat rambutnya dengan warna ngejreng. Sejauh mata memandang, belum tampak yang memakai longyi (sarung), pakaian bawahan tradisional Myanmar. Aroma mereka pun khas, seperti bunga yang sudah sangat layu. Mereka juga sudah sangat familiar dengan smartphone, merek yang paling banyak dipakai adalah merek Korea yang huruf depannya “S”. Banyak yang asyik ngobrol ditelepon dengan bahasanya (gile, roaming-nya mahal tuh! Mereka tahu nggak ya?), dengerin musik pakai loudspeaker smartphone dengan ditempel ke kuping dan nyanyi-nyanyi sendiri, dan duduk ngobrol sambil bagi-bagiin kotak rokok dari 1 slop. Saya senyum-senyum sendiri aja melihat tingkah ajaibnya. Ketika duduk sebelahan dengan mereka, saya cukup kasihan sama mereka karena ketika memegang paspor merah dengan huruf-huruf cacing di sampulnya, mereka juga melampirkan secarik kertas visa Malaysia. Gile, ke KL aja masih pake visa!

Tipikal orang Myanmar, semua pakai longyi, kayak mau sholat Jumat

Pas boarding, mereka pun lucu cenderung norak! Ada yang terpisah dari temannya lalu bingung-bingung sendiri nggak duduk di kursinya, ada yang masih asyik ngobrol di telepon, ada yang nggak ngerti di mana lokasi kursinya, ada sudah di kursi tapi berdiri-berdiri nggak jelas teriak-teriak ke temannya di depan, ada yang mau take off masih tetep nggak pake seat belt. Fiuuuhh… good luck deh buat cabin crew-nya!

Salah satu bapak-bapak yang tadi bagi-bagi kotak rokok duduk di sebelah saya, pfffttt… baunya! Nggak mau jahat, saya duduk anteng di jendela, ngeliatin sayap pesawat. Tiba-tiba ponsel bapak itu (sebutlah Bambang) bunyi dan dia mengangkatnya. Ebuset, udah mau take off ini! Nggak lama, pramugari datang dan menyuruhnya mematikan ponsel dengan sopan. Kena lo sama pramugari, hahahaha! Pesawat mulai mundur dan taxi, saya lalu kepo, ngeliatin ponselnya terus. Kirain udah dimatiin, emang dasar nggak ngerti bahasa Inggris, ponsel Bambang berdering lagi pas pesawat sudah ambil posisi di runway! Bleguk!

You have to turn it off now,” kata saya kepadanya, menunjuk-nunjuk ke ponselnya. “NOW. OFF.”

Fiuh. akhirnya dimatiin jugaaaa…. Entah berapa orang lagi di pesawat yang nggak ngerti harus mematikan ponsel dan tetap membiarkan ponselnya hidup saja selama terbang. Saya jadi lebih kuat berdoanya dan nggak bisa tidur karena banyak yang diperhatikan dari orang-orang lucu ini. Dan jujur saja, akumulasi aroma mereka membuat saya nggak bisa tidur karena membuat saya nggak nyaman selama penerbangan. Mana Bambang terus-terusan ikutan ngeliat pemandangan di jendela samping saya dengan bau badan dan mulutnya yang semerbak. Hush… hush… hush… 
Lah, gelap dari atas!
Mendekati Myanmar, first officer bilang kalau 15 menit lagi kami akan landing. Saya melihat ke daratan Myanmar yang sebentar lagi saya jelajahi, gelap gulita! Hanya ada beberapa titik lampu dan menyebar, selebihnya hitam saja. Masak sih Myanmar masih jarang listrik? Lampu di kota Yangon saja biasa, seperti Bondowoso malam hari.
Yangon International Airport, udah bagus :)
Perjalanan 3 jam di kopaja terbang (baca: AirAsia A320) akhirnya mengantarkan saya ke Yangon International Airport pukul 19.28 yang secara penampakan mirip Terminal 3 Soekarno-Hatta, kecil dengan desain modern. Saya pun lari-lari melewati orang-orang dan buru-buru mencari konter imigrasi dan langsung mengantri. Dalam perjalanan saya melihat pemandangan yang nggak pernah saya lihat: manusia Myanmar, banyak, pake longyi, berdiri menempelkan muka ke kaca, dan melambai-lambai ke saudaranya yang sedang berjalan ke imigrasi. Seketika saya excited karena sudah sampai di sini!

Kelar proses imigrasi, saya pun berjalan keluar mencari ATM dan menarik uang kyat. Kelar urusan perduitan, puluhan orang menghampiri saya, “Taxi? Taxi?” dengan mulut bau pinang. Saya menghampiri salah satu supir taksi ber-longyi.

Taxi to Aung Mingalar?” Dia manggut-manggut, “How much?”
“8.000.”
No. It’s not that far! 5.000.” Saya sudah riset dulu di Google Maps. Ongkos 8.000 adalah ongkos ke pusat kota, sementara lokasi terminal bus ini agak di pinggiran.
Dia menggeleng. Oke, gak papa. Saya lalu pindah ke supir taksi yang lain, “Aung Mingalar? How much? I only want 6.000.” Ya gak papalah saya naikin dikit.
Okay, okay, 6.000.”
Okay. Let’s go fast,” kata saya ala peserta The Amazing Race.

Semua supir taksi yang tadi ngerubungin saya nggak ada yang bermaksud jahat, menipu, atau overcharge turis. Taksi mereka nggak punya merek, dengan mobil berwarna putih jadul merek Toyota Corolla 1970-an atau Toyota Super Roof 1980-an. Penampakan supirnya pun nggak biasa. Perawakan dari muda sampai tua dengan gigi-gigi keropos dan berwarna kuning kemerahan akibat mengunyah pinang. Nggak ada merek apalagi seragam, mereka cuek aja pake longyi sehari-hari (belakangan saya tahu kalau mereka cuma pakai celana dalam supaya anginnya semilir, hahaha). Jangan harap ada AC di dalam taksi, udah syukur hanya kamu penumpangnya. Terkadang mereka mengambil beberapa orang lain untuk memenuhi mobil bahkan bagasinya. Yep, manusia dimasukkan ke bagasi mobil. Ajaib.
Tipikal taksi di Myanmar (image courtesy of www.go-myanmar.com)

Dan ternyata Myanmar ini punya aromanya sendiri: campuran bunga atau buah busuk dan daun/biji pinang. Dalam satu negara, saya ke 3 kota, aromanya sama! Khas banget dan akan nggak kebayang bagi yang belum pernah ke sana. Aroma ini muncul dari banyaknya sesajen bunga dan buah untuk Buddha dan banyak sekali yang meludah pinang di jalan-jalan. Pemandangan biasa banget kalo ngeliat ludah merah di trotoar, jalan, atau jembatan. Kalau di Indonesia orang banyak merokok, mereka ngunyah pinang. Saya berasa main lompat-lompatan karena selalu berusaha menghindar supaya nggak nginjek. Supir taksi aja pada cuek ngebuka pintu mobil dan ngeludah ke jalan waktu nunggu lampu merah. Iyuuuuhhhh….

Jalan kota Yangon lebar, terdapat 4 lajur, 2 untuk masing-masing arah dan mobil berkendara di lajur kanan padahal setir di kanan! Bikin deg-degan gak sih kalo supir taksi ini mau nyalip? Apalagi bus, bayangin kalo pintunya ada di kiri dan kita turun di tengah-tengah jalan. Greget banget kan.
Jalan di Yangon, dengan Bogyoke Market di sebelah kiri

Pukul 20.10 saya sampai di terminal Aung Mingalar di konter JJ Express, merek bus yang sudah saya book untuk ke Bagan. Saya bertanya ke petugas yang di konter apakah bus yang sedang parkir di depan adalah bus saya. Berhubung pengucapan Bahasa Inggris orang Myanmar sangat susah untuk dimengerti, saya berusaha menebak-nebak kalau bus yang saya book sudah berangkat 10 menit yang lalu dan bus yang sedang parkir itu ke Mandalay dan sudah penuh. Mati gua. Saya bertanya lagi apa ada line bus lain yang bisa ke Bagan malam ini juga. Dia bingung. Kondisi saat itu sangat ramai, banyak orang lokal dan petugas saling tanya-tanya karena kurang mengerti Bahasa Inggris. Akhirnya ada cewek lokal, namanya Mi Mi, dengan Bahasa Inggris terbagus se-Myanmar yang menawarkan membantu saya mencarikan bus. Kami keliling ke konter-konter bus lain. Nope, malam ini tidak ada connection ke Bagan lagi, semua sudah berangkat. Secara umum, orang Myanmar ramah sekali dan mau membantu. Beberapa orang mengerubungi saya berusaha membantu tetapi keterbatasan bahasa.
Bus malem ke Mandalay, doa pujian untuk Budha disetel kenceng-kenceng non stop

Atas saran Mi Mi, saya ke konter line bus Elite di bagian lain terminal, cukup jauh bila berjalan kaki. Mi Mi bilang hanya 1000 kyat naik taksi. Elite juga nggak punya koneksi ke Bagan malam itu, saya lalu berhenti sejenak dan berpikir. Oke, saya memutuskan untuk mengganti itinerary, dari Yangon-Bagan-Inle Lake-Yangon menjadi Yangon-Mandalay-Bagan-Yangon. Saya lalu membayar tiket bus ke Mandalay, mbak-mbak konter menuliskan tiket dan nomor tempat duduk dan saya langsung masuk ke bus. Dengan formasi 2-2, ber-AC, dikasi bantal dan selimut, dan ada bus attendant, saya senang sekali karena di Myanmar sekalipun, saya bisa traveling dengan nyaman. Perjalanan akan memakan waktu 9 jam sejauh 636 km, hampir sama dengan Jakarta ke Madiun. Semua penumpang adalah orang lokal kecuali saya. Untungnya di samping saya tidak ada orang, jadi bebas ngambil 2 kursi untuk sendiri. Saya pun istirahat sambil ditemani doa-doa pujian untuk Buddha yang disetel sepanjang malam.

Hanya dalam beberapa jam, saya bisa bercerita banyak dan mendapat pengalaman kultural yang berbeda. Myanmar, you’ve been awesome. Saya menanti apa yang akan terjadi selanjutnya di Myanmar karena pasti akan begitu banyak kejutan. Stay tuned!
Read More
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home