Showing posts with label Travel Diary. Show all posts
Showing posts with label Travel Diary. Show all posts
Disclaimer: tulisan ini pernah dimasukkan ke www.catperku.com sebagai Guest Post

--------------------------------------------------------

Setelah ngumpulin pengalaman jalan-jalan di negara maju yang jauh lebih baik dari Indonesia dari segi ekonomi, infrastruktur dan pemerintahan, entah setan apa yang menghasut saya beli tiket ke Yangon, Myanmar. Pembeliannya pun cukup impulsif karena harga tiket PP-nya dari KL hanya 500 ribu rupiah. Dari awal saya memang tidak punya ekspektasi tinggi terhadap negara ini karena sebagai negara yang masih membuka diri, pasti nggak gampang traveling di sini, apalagi sendirian.

Setelah struggling dengan gigitan bed bugs di hostel busuk KL, berangkatlah saya ke KLIA2 untuk terbang ke Yangon. Sebelumnya, penerbangan saya ini di-reschedule jam berangkatnya sehingga kedatangan di Yangon sekitar 19.30 setempat. Ini jelas-jelas membuat saya gelisah karena saya sudah booking tiket bus malam JJ Express dari Yangon ke Bagan jam 20.00. Saya berusaha mereka-reka adegan gimana caranya dari turun pesawat sampai ke Terminal Bus Aung Mingalar dalam 25 menit. Imajinasi ini termasuk adegan lari secepat The Flash, lompatin loket imigrasi, sampai nge-drift pake taksi lokal. Huh, mustahil.

First encounter saya dengan orang Myanmar adalah di gate keberangkatan. Saya melihat wajah tipikal orang Asia Tenggara yang biasa ditemui di Thailand atau Kamboja. Wajah pria-prianya hitam dan wanita-wanitanya putih dengan dibalur bedak putih. Bedanya, pakaian mereka saya anggap norak karena suka pakai berlapis-lapis dan tabrak warna. Beberapa prianya juga mengecat rambutnya dengan warna ngejreng. Sejauh mata memandang, belum tampak yang memakai longyi (sarung), pakaian bawahan tradisional Myanmar. Aroma mereka pun khas, seperti bunga yang sudah sangat layu. Mereka juga sudah sangat familiar dengan smartphone, merek yang paling banyak dipakai adalah merek Korea yang huruf depannya “S”. Banyak yang asyik ngobrol ditelepon dengan bahasanya (gile, roaming-nya mahal tuh! Mereka tahu nggak ya?), dengerin musik pakai loudspeaker smartphone dengan ditempel ke kuping dan nyanyi-nyanyi sendiri, dan duduk ngobrol sambil bagi-bagiin kotak rokok dari 1 slop. Saya senyum-senyum sendiri aja melihat tingkah ajaibnya. Ketika duduk sebelahan dengan mereka, saya cukup kasihan sama mereka karena ketika memegang paspor merah dengan huruf-huruf cacing di sampulnya, mereka juga melampirkan secarik kertas visa Malaysia. Gile, ke KL aja masih pake visa!

Tipikal orang Myanmar, semua pakai longyi, kayak mau sholat Jumat

Pas boarding, mereka pun lucu cenderung norak! Ada yang terpisah dari temannya lalu bingung-bingung sendiri nggak duduk di kursinya, ada yang masih asyik ngobrol di telepon, ada yang nggak ngerti di mana lokasi kursinya, ada sudah di kursi tapi berdiri-berdiri nggak jelas teriak-teriak ke temannya di depan, ada yang mau take off masih tetep nggak pake seat belt. Fiuuuhh… good luck deh buat cabin crew-nya!

Salah satu bapak-bapak yang tadi bagi-bagi kotak rokok duduk di sebelah saya, pfffttt… baunya! Nggak mau jahat, saya duduk anteng di jendela, ngeliatin sayap pesawat. Tiba-tiba ponsel bapak itu (sebutlah Bambang) bunyi dan dia mengangkatnya. Ebuset, udah mau take off ini! Nggak lama, pramugari datang dan menyuruhnya mematikan ponsel dengan sopan. Kena lo sama pramugari, hahahaha! Pesawat mulai mundur dan taxi, saya lalu kepo, ngeliatin ponselnya terus. Kirain udah dimatiin, emang dasar nggak ngerti bahasa Inggris, ponsel Bambang berdering lagi pas pesawat sudah ambil posisi di runway! Bleguk!

You have to turn it off now,” kata saya kepadanya, menunjuk-nunjuk ke ponselnya. “NOW. OFF.”

Fiuh. akhirnya dimatiin jugaaaa…. Entah berapa orang lagi di pesawat yang nggak ngerti harus mematikan ponsel dan tetap membiarkan ponselnya hidup saja selama terbang. Saya jadi lebih kuat berdoanya dan nggak bisa tidur karena banyak yang diperhatikan dari orang-orang lucu ini. Dan jujur saja, akumulasi aroma mereka membuat saya nggak bisa tidur karena membuat saya nggak nyaman selama penerbangan. Mana Bambang terus-terusan ikutan ngeliat pemandangan di jendela samping saya dengan bau badan dan mulutnya yang semerbak. Hush… hush… hush… 
Lah, gelap dari atas!
Mendekati Myanmar, first officer bilang kalau 15 menit lagi kami akan landing. Saya melihat ke daratan Myanmar yang sebentar lagi saya jelajahi, gelap gulita! Hanya ada beberapa titik lampu dan menyebar, selebihnya hitam saja. Masak sih Myanmar masih jarang listrik? Lampu di kota Yangon saja biasa, seperti Bondowoso malam hari.
Yangon International Airport, udah bagus :)
Perjalanan 3 jam di kopaja terbang (baca: AirAsia A320) akhirnya mengantarkan saya ke Yangon International Airport pukul 19.28 yang secara penampakan mirip Terminal 3 Soekarno-Hatta, kecil dengan desain modern. Saya pun lari-lari melewati orang-orang dan buru-buru mencari konter imigrasi dan langsung mengantri. Dalam perjalanan saya melihat pemandangan yang nggak pernah saya lihat: manusia Myanmar, banyak, pake longyi, berdiri menempelkan muka ke kaca, dan melambai-lambai ke saudaranya yang sedang berjalan ke imigrasi. Seketika saya excited karena sudah sampai di sini!

Kelar proses imigrasi, saya pun berjalan keluar mencari ATM dan menarik uang kyat. Kelar urusan perduitan, puluhan orang menghampiri saya, “Taxi? Taxi?” dengan mulut bau pinang. Saya menghampiri salah satu supir taksi ber-longyi.

Taxi to Aung Mingalar?” Dia manggut-manggut, “How much?”
“8.000.”
No. It’s not that far! 5.000.” Saya sudah riset dulu di Google Maps. Ongkos 8.000 adalah ongkos ke pusat kota, sementara lokasi terminal bus ini agak di pinggiran.
Dia menggeleng. Oke, gak papa. Saya lalu pindah ke supir taksi yang lain, “Aung Mingalar? How much? I only want 6.000.” Ya gak papalah saya naikin dikit.
Okay, okay, 6.000.”
Okay. Let’s go fast,” kata saya ala peserta The Amazing Race.

Semua supir taksi yang tadi ngerubungin saya nggak ada yang bermaksud jahat, menipu, atau overcharge turis. Taksi mereka nggak punya merek, dengan mobil berwarna putih jadul merek Toyota Corolla 1970-an atau Toyota Super Roof 1980-an. Penampakan supirnya pun nggak biasa. Perawakan dari muda sampai tua dengan gigi-gigi keropos dan berwarna kuning kemerahan akibat mengunyah pinang. Nggak ada merek apalagi seragam, mereka cuek aja pake longyi sehari-hari (belakangan saya tahu kalau mereka cuma pakai celana dalam supaya anginnya semilir, hahaha). Jangan harap ada AC di dalam taksi, udah syukur hanya kamu penumpangnya. Terkadang mereka mengambil beberapa orang lain untuk memenuhi mobil bahkan bagasinya. Yep, manusia dimasukkan ke bagasi mobil. Ajaib.
Tipikal taksi di Myanmar (image courtesy of www.go-myanmar.com)

Dan ternyata Myanmar ini punya aromanya sendiri: campuran bunga atau buah busuk dan daun/biji pinang. Dalam satu negara, saya ke 3 kota, aromanya sama! Khas banget dan akan nggak kebayang bagi yang belum pernah ke sana. Aroma ini muncul dari banyaknya sesajen bunga dan buah untuk Buddha dan banyak sekali yang meludah pinang di jalan-jalan. Pemandangan biasa banget kalo ngeliat ludah merah di trotoar, jalan, atau jembatan. Kalau di Indonesia orang banyak merokok, mereka ngunyah pinang. Saya berasa main lompat-lompatan karena selalu berusaha menghindar supaya nggak nginjek. Supir taksi aja pada cuek ngebuka pintu mobil dan ngeludah ke jalan waktu nunggu lampu merah. Iyuuuuhhhh….

Jalan kota Yangon lebar, terdapat 4 lajur, 2 untuk masing-masing arah dan mobil berkendara di lajur kanan padahal setir di kanan! Bikin deg-degan gak sih kalo supir taksi ini mau nyalip? Apalagi bus, bayangin kalo pintunya ada di kiri dan kita turun di tengah-tengah jalan. Greget banget kan.
Jalan di Yangon, dengan Bogyoke Market di sebelah kiri

Pukul 20.10 saya sampai di terminal Aung Mingalar di konter JJ Express, merek bus yang sudah saya book untuk ke Bagan. Saya bertanya ke petugas yang di konter apakah bus yang sedang parkir di depan adalah bus saya. Berhubung pengucapan Bahasa Inggris orang Myanmar sangat susah untuk dimengerti, saya berusaha menebak-nebak kalau bus yang saya book sudah berangkat 10 menit yang lalu dan bus yang sedang parkir itu ke Mandalay dan sudah penuh. Mati gua. Saya bertanya lagi apa ada line bus lain yang bisa ke Bagan malam ini juga. Dia bingung. Kondisi saat itu sangat ramai, banyak orang lokal dan petugas saling tanya-tanya karena kurang mengerti Bahasa Inggris. Akhirnya ada cewek lokal, namanya Mi Mi, dengan Bahasa Inggris terbagus se-Myanmar yang menawarkan membantu saya mencarikan bus. Kami keliling ke konter-konter bus lain. Nope, malam ini tidak ada connection ke Bagan lagi, semua sudah berangkat. Secara umum, orang Myanmar ramah sekali dan mau membantu. Beberapa orang mengerubungi saya berusaha membantu tetapi keterbatasan bahasa.
Bus malem ke Mandalay, doa pujian untuk Budha disetel kenceng-kenceng non stop

Atas saran Mi Mi, saya ke konter line bus Elite di bagian lain terminal, cukup jauh bila berjalan kaki. Mi Mi bilang hanya 1000 kyat naik taksi. Elite juga nggak punya koneksi ke Bagan malam itu, saya lalu berhenti sejenak dan berpikir. Oke, saya memutuskan untuk mengganti itinerary, dari Yangon-Bagan-Inle Lake-Yangon menjadi Yangon-Mandalay-Bagan-Yangon. Saya lalu membayar tiket bus ke Mandalay, mbak-mbak konter menuliskan tiket dan nomor tempat duduk dan saya langsung masuk ke bus. Dengan formasi 2-2, ber-AC, dikasi bantal dan selimut, dan ada bus attendant, saya senang sekali karena di Myanmar sekalipun, saya bisa traveling dengan nyaman. Perjalanan akan memakan waktu 9 jam sejauh 636 km, hampir sama dengan Jakarta ke Madiun. Semua penumpang adalah orang lokal kecuali saya. Untungnya di samping saya tidak ada orang, jadi bebas ngambil 2 kursi untuk sendiri. Saya pun istirahat sambil ditemani doa-doa pujian untuk Buddha yang disetel sepanjang malam.

Hanya dalam beberapa jam, saya bisa bercerita banyak dan mendapat pengalaman kultural yang berbeda. Myanmar, you’ve been awesome. Saya menanti apa yang akan terjadi selanjutnya di Myanmar karena pasti akan begitu banyak kejutan. Stay tuned!
Read More
Myanmar. Well, mungkin sebagian dari teman-teman saya mengangkat alis tinggi-tinggi ketika dengar saya akan solo backpacking ke Myanmar. "Ada apaan di sana?" Jujur aja, sebelum berangkat, saya terus-terusan mikir, "Lah, ngapain sih lu beli tiket ke Yangon? Sendirian lagi!" Tiket 500 ribu pulang pergi itu sangat menggoda, anak muda! Bodo amat, berangkat aja, masalah di sana, dipikirin nanti aja. Dengan modal informasi yang nggak terlalu banyak, pergilah saya ke Yangon dengan transit di Kuala Lumpur. Di Kuala Lumpur, saya nggak hanya dapat gigitan kutu kasur di Fernloft Hostel KL, tapi saya juga baru nyadar kalo USD yang saya siapin ketinggalan di rumah! Walah, padahal USD adalah "modal" awal saya untuk survive di sana karena saya gak tahu ATM saya berfungsi atau enggak di sana. Hahaha, antara panik dan ngebego-begoin diri sendiri, saya akhirnya cuma bisa berdoa, kartu ATM saya dan mesin ATM di bandara Yangon baik-baik saja sehingga saya bisa tarik uang dalam kyat.

Hari 1: Jakarta - Kuala Lumpur (by Lufthansa)
Akomodasi: Fernloft Hostel KL, gak recommended. Petugasnya judes, area sarapannya jorok, kasurnya banyak kutunya. The worst.

Hari 2: Kuala Lumpur - Yangon (by AirAsia)
Begitu sampai di bandara Yangon, saya super excited melihat orang-orang lokal yang memakai longyi berdiri berjejeran menunggu yang dijemput. Bahkan petugas custom menyapa saya dengan bahasa lokal karena muka orang Indonesia sangat mirip dengan muka orang Myanmar. Saya langsung mencari ATM dan memasukkan kartu dengan harap-harap cemas. Duh, gimana kalo gak bisa? Ternyata mesin ATM-nya rusak. Walah, saya nggak punya uang sepeser pun, semua uang ada di tabungan dan bego banget saya ninggalin USD di rumah. Saya lalu keluar mencari ATM lain dan mencoba menarik uang. Thank God it worked! Selesai urusan duit, saya keluar dengan hepi dan mencari taksi.

Taksi dari RGN ke Terminal Bus Antar Kota Aung Mingalar: MYK 6.000. Kalau mau ke kota-kota tujuan utama di Myanmar seperti Inle Lake, Bagan, dan Mandalay, naik busnya dari terminal ini.

Tiket bus dari Yangon ke Mandalay (Elite bus): MYK 10.700. Bus malam yang sampai di Mandalay besok paginya, 9 jam perjalanan darat dengan jalan yang belum muluss... Dapet selimut, bantal, dan refreshing kit (odol, sikat gigi, dan tisu basah).

Bekal di bus, roti 2 buah MYK 1.300

Bus malam dari Yangon ke Mandalay
Hari 3: Mandalay
Dengan mata beler karena nggak tidur, saya turun dari bus pukul 4 pagi dan bingung mau ke hotel mana pagi buta begini. Karena saya sudah mencatat alamat-alamat hotel yang mau saya jadikan tempat menginap, saya langsung nyamperin supir taksi yang mana aja dan bilang saya mau ke Royal Yadanarbon Hotel. Bukannya saya nggak punya spirit backpacker naik taksi melulu, soalnya di Myanmar, transportasi umum untuk turis masih susah untuk dimengerti dan kurang manusiawi. Pokoknya kalo ke Myanmar, berasa banget waktu seakan berhenti, peradaban modern belum masuk ke sini, kecuali ponsel dan internet (yang juga terbatas di hotel saja). 

Taksi ke Royal Yadanarbon Hotel: MYK 4.000
Royal Yadanarbon Hotel, 1 malam: MYK 22.000 atau USD 20

Hotel ini sangat recommended walaupun letaknya agak melipir di pinggir kota. Concierge-nya baik banget, membolehkan saya check-in pagi buta, padahal biasanya kan baru bisa check-in jam 13.00. Sarapan enak dengan teh khas Myanmar yang super nikmat. Sarapan ini saya dapatkan dua kali karena saya nyampe pagi buta, padahal saya hanya sewa kamar 1 malam, ehehehe. Mereka juga membantu saya mem-booking transportasi ke Bagan untuk keesokan harinya. Oh, dan mereka juga mencarikan ojek harian yang bisa saya sewa. Pokoknya mereka berusaha yang terbaik untuk melayani tamu-tamu hotel. Kamar yang bersih, baru, dan rapi. Daaan... internetnya jalan, itu yang penting. 

Ojek harian Mandalay: MYK 12.000 (seharian)

Ojek ini saya pakai untuk melihat yang penting-penting Mandalay, dimulai dari Mandalay Palace, Mandalay Hills, U-Bein Bridge, sampai ke tempat-tempat workshop patung Buddha dan kertas emas. 

Donasi pagoda di Mandalay Hills MYK 100
Donasi Mahamuni Pagoda MYK 500
Donasi titip sepatu MYK 200
Makan siang MYK 1.000
Parkir MYK 200

Irrawady River, lagi musim kering, jadi cukup surut

Mandalay Hills

Enaknya punya ojek pribadi, bisa dijadiin fotografer seharian, haha
U-Bein Bridge
Hari 4: Mandalay - Bagan
Pagi-pagi saya check out dan sarapan. Hari ini saya akan ke kota gersang sekaligus sangat bersejarah bagi Myanmar: Bagan. 

Tiket masuk kawasan Bagan: MYK 22.000 (deuuu, mahalnya)

Karena waktu saya sempit banget, makanya saya langsung sewa delman buat nganterin saya ke pagoda-pagoda terpenting di Bagan dan nungguin saya nunggu sunset di puncak pagoda.

Sewa delman seharian: MYK 20.000 (worth every kyat, abangnya lucu dan baik banget)
Makan siang: MYK 2.500

Bagan, sesuatu banget kota ini. Tapi masuknya mahal, hiks :'(
Tipikal transportasi umum di Myanmar, yang ini ukurannya sedang.

Malamnya saya langsung cabut naik bus malam ke Yangon, sempet ketemu dengan rombongan backpacker Indonesia juga dan jadi teman perjalanan sampai Yangon. 

Tiket bus malam ke Yangon dari Bagan: MYK 18.500, Busnya kece, VIP dengan formasi tempat duduk 2-1, dapet snack dan minuman dari pramugarinya, ehehehe.

Hari ke 5: Yangon

Hostel yang saya pilih letaknya dekat Botataung Pagoda, namanya Hninn Si Budget Inn. Hostel ini basic, tapi yang nggak saya suka adalah dinding antar kamarnya adalah kayu, jadi kita bisa mendengar riuh orang dari luar atau kamar sebelah. Internetnya lumayan kenceng dan saya boleh check in lebih awal karena bus saya nyampe pagi buta. Saya jalan kaki muter-muter sampai ke Bogyoke Market, dari sana saya ke Shwedagon Pagoda, pagoda terbesar di Myanmar. 

Taksi dari terminal bus ke Hninn Si Budget Inn: MYK 4.000
Makan siang: MYK 2.500
Taksi ke Shwedagon Pagoda: MYK 2.000
Tiket masuk Shwedagon Pagoda: MYK 8.000
Makan malam: MYK 3.500
Shwedagon Pagoda

Weekend paling seneng sembahyang di kuil :))

Kiri, gedung putih: Bogyoke Market
Hari ke 6: pulang!

Sum up: itinerary saya adalah Jakarta - Kuala Lumpur - Yangon - Mandalay - Bagan - Yangon - Kuala Lumpur - Jakarta.

Semoga bermanfaat!

-@travelitarius next destination: Manila
Read More
Disclaimer: Tulisan ini pernah saya masukkan ke www.jalan2liburan.com sebagai "Guest Post"

--------------------------------------------------------------------


Tahun 2014 lalu (Juni - Juli 2014) saya akhirnya berhasil solo backpacking ke Eropa, destinasi yang udah saya jadikan target selama menabung. Total perjalanan yang saya jalanin sendirian adalah 50 malam di 13 negara dan 28 kota, dengan budget rendah. Seberapa rendah? 15 euro per hari atau sekitar Rp 240.000 per hari. Kalau ditambah dengan tiket pesawat yang sekitar 11 jutaan, transportasi darat, dan pengeluaran darurat saya habis sekitar 32-an juta rupiah. Murah? Emang. Sebelum pergi, saya udah kenyang komentar orang, “Emang cukup?”, “Bisa makan nggak tuh?”, “Tinggal di mana budget sekecil itu?”. Tapi kalo saya dengerin terus, ntar nggak pergi-pergi.

Budget 15 euro per hari itu adalah makanan dan transportasi keliling kota. Gimana caranya saya bisa survive traveling di Eropa, apalagi Eropa Barat, dengan hanya 15 euro per hari?

I couchsurfed a lot. Buat yang masih tidak familiar dengan Couchsurfing (CS), saya coba jelaskan ya. CS adalah komunitas traveler yang saling memberikan akomodasi gratis buat para anggotanya, misi utamanya adalah dengan saling mengenal dan mengunjungi, kita akan bisa menciptakan pengertian satu sama lain. Peace, open-mindedness, youth-spirit, dan sharing adalah nafas CS. Selain saya bisa menghemat uang, karena setengah dari budget perjalanan pasti akan habis di akomodasi, saya bisa nambah teman, mengenal kehidupan dan kebudayaan orang lokal, mengetahui hal-hal yang nggak diketahui turis, dan kalo saya kembali ke sana, saya punya teman untuk dikunjungi. Banyak manfaatnya kan? Tapi saya selalu wanti-wanti buat newbie CS, jangan pernah jadikan CS sebagai aji mumpung akomodasi gratisan tapi bertemanlah dengan host kita, host CS bukan hostel. Dari total 50 malam saya traveling, hanya 9 malam saya harus bayar untuk akomodasi, itu pun hostel yang murah.

Dari CS, saya bisa ketemu malaikat ini
I stayed in cheaper countries longer. Negara-negara yang saya datangi sesuai urutan itinerary adalah Prancis, Belanda, Belgia, Jerman, Polandia, Ceko, Austria, Slovakia, Hungaria, Kroasia, Slovenia, dan Italia. Saya sengaja nggak ke Swiss, Denmark, atau negara-negara Skandinavia karena biaya hidup di sana mahal. 15 euro di negara tersebut bisa hanya 1 kali makan. Saya juga lama di Polandia, Ceko, Slovakia, Hungaria, dan Slovenia karena negara-negara tersebut masih lebih murah di bandingkan negara lain. Now it seems possible right? Kalau saya surplus dari 15 euro, uangnya saya alihkan ke negara-negara yang mahal seperti Prancis, Belanda, Jerman, dan Italia.

I took slower transportation. Di luar 15 euro per hari, saya juga ada pengeluaran transportasi antar kota. Di Eropa, paling enak ke mana-mana naik kereta, apalagi kereta cepat. Tapi mulai nggak enak kalo udah ngeliat harganya. 1 kali perjalanan naik TGV Prancis saja, bisa 50-100 euro sekali jalan. Mana ada duitnya. Akhirnya saya memilih jenis kereta yang lebih lambat, yaitu kereta regional. Bus juga sering saya pakai karena bus di Eropa reliable, tepat waktu, lebih murah, dan fasilitasnya oke. Saya rela naik bus dari Milan ke Paris 13 jam, nyampenya pagi buta, demi ongkos yang cuma 35 euro. Demi ngirit. Lagipula saya punya banyak waktu.



I bought less souvenirs. Saya tipe traveler yang nggak suka membeli banyak suvenir, apalagi ditebengin nitip barang sama orang. Untuk diri sendiri, saya membeli suvenir dalam bentuk magnet kulkas atau kartu pos. Itu pun nggak selalu bisa beli karena di negara mahal, magnet standar harganya 5 euro.

I walked... A LOT. Kalo ini sih kurang lebih karena kebanyakan kota-kota di Eropa bisa dikelilingin dengan jalan kaki. Selain menyehatkan, jalan kaki memberi kita kebebasan mengeksplor tempat, khususnya di tempat yang nggak bisa dilalui kendaraan seperti pusat kota tua. Di Paris yang kota besar saja, saya biasa berjalan kaki karena kota ini cakep banget, apalagi pas malam. Salah satu kota besar yang harus pakai transportasi ke mana-mana itu Berlin; karena ukuran dan Budapest; karena landscape. Contoh harga single ticket di Paris adalah 1.70 euro, di Amsterdam 2.80 euro, di Berlin 2.60 euro, Roma 1.50. Kebayang kan kalau ke mana-mana maunya naik metro/tram/bus? Tips saya, sebelum berangkat jalan-jalan keliling kota, sempatkan dulu buka peta dan tandai destinasinya. Dari sana, liat lagi apakah ada objek lain yang dekat? Buat rute jalan kakinya. Kalau kita bisa memaksimalkan objek dan waktunya, kita palingan cuma habis buat 2 tiket, 1 tiket untuk berangkat dan 1 untuk pulang.

I took public transportation and searched for the unlimited tickets. Nggak pernah sekalipun pantat saya menyentuh salah satu bangku taksi di Eropa. Taksi itu haram buat saya. Saya selalu naik bus, tram, metro untuk ke mana-mana supaya murah. Mau senyasar gimanapun, lebih baik tanya-tanya orang dari pada naik taksi. Nah, biasanya transportasi kota itu punya tiket terusan 24 jam yang bisa jatuhnya murah kalau kita berniat naik transportasi lebih dari 3 sampai 4 kali. Misalnya, tiket terusan Berlin 24 jam harganya 6.80 euro, sementara tiket single-nya 2.60 euro. Menguntungkan kalau naiknya lebih dari 2 kali, kan? Di Polandia, Ceko, Hungaria saya selalu pakai tiket terusan 24 jam karena harganya murah. Kalau saya capek jalan kaki, saya langsung naik random bus/tram, lalu keliling-keliling kota, lihat-lihat pemandangan, turun di halte random, terus naik bus/tram yang lain. Masing-masing kota punya website resmi sendiri untuk operator transportasi, misalnya Paris RATP, Amsterdam GVB, Berlin BVG, buka website masing-masing dan cari informasi tiket terusannya.

I catered myself. Untuk menghemat uang, saya seringnya beli makanan jadi atau beli bahan-bahan makanan di supermarket. Misalnya, untuk sarapan saya beli roti 1.50 euro di bakery. Siangnya saya beli doner kebab 4 euro. Lalu malamnya, saya beli pasta instan di supermarket seharga 2 euro. Saya memang sering berbelanja di supermarket karena mengatur makanan sendiri jauh lebih murah dibandingkan beli jadi. Selain itu, belanja menurut saya adalah pengalaman kultural, kita jadi tahu orang lokal makan apa. Saya pernah mabok plum karena lagi sale di Tesco Bratislava, pernah juga kena sakit perut karena kebanyakan minum susu yang sekotak cuma 1 euro di Vienna, makan take away nasi goreng Vietnam, atau pernah nyobain doner kebab di Brussels yang bisa dimakan sampai makan malam saking gedenya. Dan saya sehat-sehat saja tuh, malah makanan saya di sana lebih bergizi, hehehe. Selama kita nggak pernah makan di restoran, budget kita akan selalu rendah karena 1 main course minimal harganya 7 euro. Tapi apa pernah saya makan enak di restoran? Pernah dong, tapi di ditraktir host, hehehe.

I searched for free activities. Ini yang nggak kalah penting untuk mengisi waktu dengan murah, cukup ketik “free things to do in ...” langsung muncul berbagai hasil. Misalnya, di Paris: masuk Notre Dame, masuk Basilica du Sacre Coeur, jalan-jalan di Montmartre, jalan-jalan di pinggir Sungai Seine, cuci mata di Champs Elysees, atau baca buku di Jardin des Tuileries. Misalnya di Amsterdam, jalan-jalan ke Bloemenmarkt, cuci mata di kanal-kanal Amsterdam yang cakep, nyobain sampel keju, atau main ke Rembrantplatz. Misalnya di Roma, cathedral-hopping, nontonin seniman di Piazza Navona, Pantheon, dan bengong di Boboli Garden. Dan, yang kalah penting, Europe itself! Nikmati saja Eropa dengan segala keindahan arsitektur yang nggak mungkin kamu temukan di Indonesia. Perhatikan orang lokal, ngobrol dengan mereka. Makan makanan mereka. Ucapkan terima kasih dalam bahasa mereka. Wah, kalau saya terusin, bisa nggak selesai-selesai J

I always stick to the budget. Ini juga nggak kalah penting supaya dana nggak “bocor.” Pisahkan uang harian ke dompet kecil dan sisanya ke money belt yang tersimpan aman di perut. Kita harus konsisten dan bisa mengendalikan diri sebelum membeli sesuatu yang tidak penting. Kalau bukan untuk makan dan transportasi, pikirkan dulu, apa 15 euro nya akan sisa nanti? Misalnya, saya boleh membeli magnet seharga 3 euro kalau ada sisa 3 euro, dst. Mencatat pengeluaran per hari itu juga perlu, lakukan konsisten dan luangkan waktu sebentar sebelum tidur. Jangan ditunda sampai besok-besok karena nanti akan lupa dan kita nggak tahu uang itu habisnya ke mana. Saya biasa pakai aplikasi Money Lover Android App utnuk mencatatnya.

I pushed myself hard. Dan yang terakhir, untuk survive 15 euro per hari itu nggak gampang. Makanya saya harus memaksa keras diri saya untuk selalu stick to the budget. Godaan belanja di sana tuh gampang banget, apalagi cewek. Suvenir lucu-lucu, barang-barang yang jarang ada di Indonesia, kosmetik yang lebih murah dari Indonesia, sampe sale H&M yang murah banget mulai 5 euro, nah lho!! Apa saya tergoda, ya iyalah, saya cuma cewek biasa. Biasanya kalau udah begitu, saya buru-buru kabur sebelum pikiran membeli mulai datang.

10 cara di atas membuat saya berhasil traveling di negara mahal dengan hanya Rp 240.000 per hari. Saya nggak kelaparan di sana dan pulang dengan gembira. Setelah pulang, saya jadi mikir, di Eropa aja saya bisa habis segitu, apa lagi di negara lain dong ya? Hehehe. Untuk mau tahu lebih lanjut tentang pengeluaran harian saya selama di Eropa, atau nggak percaya saya bisa habis cuma 15 euo per hari, atau disangka saya ngibul, hehe, bisa langsung cek saja  di http://www.travelitarius.com/search/label/15EurosPerDay . Semoga tulisan saya bermanfaat buat pembaca dan semakin banyak yang bisa sampai ke Eropa! Cheers! J


---

Link Sosial Media:

Read More
Mumpung lagi tidak banyak tugas dan hari ini adalah ulang tahun saya ke-26, saya menyempatkan diri untuk menulis pengalaman berharga dalam hidup saya. Tentang bagaimana saya mengambil keputusan untuk resign dari pekerjaan untuk traveling keliling Eropa. Cerita ini sih murni sharing, bukan bermaksud menginspirasi pembaca untuk ikut-ikutan resign juga, hehehe...

Rencana ke Eropa, apapun caranya, sudah saya rencanakan sejak zaman kuliah. Mimpinya sendiri dimulai ketika saya sebagai anak, banyak membaca buku-buku pengetahuan bergambar yang dibelikan orang tua. National Geographic USA adalah favorit saya dari kecil karena Papa berlangganan majalah itu. Walaupun saya nggak bisa membacanya karena belum lancar berbahasa Inggris, saya suka melihat-lihat gambarnya. Lalu karena di rumah ada parabola, saya menonton acara-acara asing setiap hari. Dunia luar begitu terekspos kepada saya. Pernah tinggal di Jayapura, Timika, dan Pontianak membuat wawasan saya tentang traveling semakin terbuka. Belum lagi sejak kecil saya sering diajak orang tua keliling Indonesia, menggunakan berbagai macam transportasi, mulai dari kapal Pelni, pesawat Garuda, pesawat Hercules, kereta api, dan yang paling sering mobil untuk road trip. Oooh, ternyata dunia ini luas!
Contoh foto powerful yang akhirnya menginspirasi saya untuk jalan-jalan
(Image courtesy of Lynsey Addario - National Geographic Magazine)
Geografi adalah mata pelajaran favorit saya. Sewaktu SD, saya hafal nama-nama dan ibukota negara-negara di dunia. Sekarang mah udah lupa. Nggak ada alasan penting sih kenapa suka geografi, suka aja liat peta dunia. Atlas adalah buku yang sering saya buka-buka berkali-kali dan buku yang rusak pertama kali karena seringnya saya pakai. Dan saya suka bermain "mencari kota" menggunakan atlas dengan adik saya. Tentu saja, waktu itu saya penasaran banget sama negara Uni Soviet (waktu itu atlas cetakan lama) yang raksasa dan diberi warna merah oleh penerbit. Negara apaan sih itu? Ada apa di dalamnya?

Rasa penasaran saya semakin ditambah dengan passion saya dengan arsitektur dan seni. Gereja Katedral dan Kawasan Kota Tua adalah bangunan yang saya kagumi karena sejarah dan desainnya. Saya pengen lihat lebih banyak lagi! Di mana lagi pusat arsitektur dan seni dunia selain di Benua Eropa? Saya pun sering meminjam buku-buku seni di perpustakaan sekolah. Saat teman-teman ngedumel setengah mati ketika mendapatkan tugas membuat maket rumah sesuai rancang bangun yang sudah dibuat, dan menatanya menjadi sebuah kota mini, saya melakukannya dengan senang hati. Miniatur rumah yang saya buat lengkap dengan cat warna-warni dan mobil-mobilan. Ketika akan lulus SMA, S1 Arsitektur UI adalah incaran saya karena passion saya yang begitu tinggi pada bidang ini. Eh, gak kesampean. Hiks. Yang penting masih UI deh, hehehe...

Kombinasi penasaran dengan dunia luar dan minat tinggi ke seni dan arsitektur akhirnya mengerucut menjadi sebuah rencana: saya harus bisa ke Eropa sebelum 26 tahun!

Ketika menjadi mahasiswa, saya berpikir keras bagaimana caranya saya ke Eropa. Karena masih mahasiswa miskin, mana mampu saya bayar sendiri ke sana. Akhirnya saya cari yang gratisan. Sempat diterima di International Youth Leadership Conference di Praha, namun tidak jadi berangkat karena nggak dapat sponsor. Sempet apply beasiswa summer course di Italia dan Portugal tapi gak lolos. Nggak putus asa, saya berjanji lulus tepat waktu, dapat kerja, nabung, dan pergi ke Eropa.

Setelah mendapatkan pekerjaan stabil yang pertama, saya langsung buka rekening tabungan yang nggak ada biaya administrasinya. Saya nggak mau hasil nabung susah payah dipotong setiap bulan. Selama 24 bulan, saya konsisten menabung 50% dari gaji, kalau ada uang lebih seperti THR dan bonus tahunan, nabungnya bisa lebih banyak. Susah? Banget. Ini adalah skala prioritas, saya sengaja nggak belanja banyak baju, sepatu, dan lain-lain karena lebih baik uang itu saya simpan.

Ajakan teman-teman untuk liburan ke luar kota juga sengaja saya skip karena prioritas saya adalah menabung. Saya nahan diri dengan mikir, "Uang itu mendingan buat lo makan di Eropa, Put." Yes, I was hard to myself. 

Ketika resign, bos saya mengapresiasi keberanian saya waktu itu. Dia melepas saya dengan kekaguman. Waktu itu saya nggak ada pikiran atau ketakutan apa pun kalau saya akan susah dapet pekerjaan lagi. Gimana enggak, kantor dengan fasilitas oke, bonus tahunan, sudah diangkat jadi karyawan tetap, mau apa lagi? Tapi saya, bos, dan teman-teman saya percaya bahwa life starts outside the comfort zone. Orang tua saya mendukung sepenuhnya, saya nggak pernah dilarang-larang pergi dan nyokap saya percaya sepenuhnya pada saya. The feeling was amazing, I could explore the world with everybody support me.

Dan, tercapailah mimpi saya... Pergi mengeksplor Eropa sebelum 26 tahun, sebelum hari ini...

Why I travel is because I want to travel, to know the unknown, to be further than anyone else, to find the essence of life, to find another home, to prove what people said are wrong, to push myself to the limit, to set my bar much higher than before, and to be me. 

-@travelitarius Peregrinaro, ergo sum. I travel, therefore I am.
Read More
Day 36: 13 Juli 2015

Postingan blog sekarang adalah travel tips! Udah lama nggak nulis tips *kipas-kipas*

Venice adalah salah satu kota yang sangat excited saya datangi karena begitu khas. Cukup melihat fotonya saja, kita akan tahu kalau itu foto Venice, asli atau palsunya. Venice adalah kota yang paling banyak tiruannya di dunia, ke Macau atau Doha saja, kamu bisa ngerasain ala-ala kota kanal ini. Dan Venice juga menjadi salah satu top destinasi untuk turis, sekitar 20 juta orang mengunjungi pulau ini. Sangat jauuuuh dengan penduduk aslinya sendiri yang "hanya" 56 ribu orang. Makanya, sebagian Venetians kabur ke Mestre, mainland Venice, sekitar 30 menit naik bus. 

Kata "lagoon" atau laguna dalam Bahasa Italia berasal dari penyebutan nama Venice ini karena memang kota ini terletak di atas laguna, yang sudah tercatat di UNESCO World Heritage List. Terletak di Teluk Adriatik dan terdiri atas 118 pulau kecil, menjadikan Venice sebagai satu-satunya kota pejalan kaki di dunia karena yang ada hanya kanal. Kota ini sendiri kelihatan kecil, tapi ternyata bikin capek jalan kaki karena banyak sekali jalan dan gang yang mengakibatkan nantinya kita nyasar-nyasar. Tapi percaya deh, nggak ada nyasar yang lebih baik dari pada nyasar di Venice.
Gampang banget nyasar di Venice!
Karena menjadi pusat turis dari seluruh dunia, apa-apa di sini serba mahal! Kalau mau dapet penginapan termurah, kamu harus mau kemping, itu pun di Mestre dan berjarak belasan kilometer. Semua hotel di pulaunya sangat-sangat mahal untuk ukuran saya. Transportasi di dalam pulau pun serba mahal. Bahkan toilet umum saja bayarnya 1.50 euro sekali masuk. Bandingkan dengan so-called-expensive Belanda yang hanya 0.50 euro sekali masuk. Stress berat deh kalau ngeliat harga-harga di Venice.

Transportasi Mestre - Venice
Kalau punya uang lebih untuk membayar hostel di pulau, kita bisa ke mana-mana jalan kaki. Karena saya nggak punya banyak uang dan tinggal di Mestre, saya harus naik bus atau kereta dari Venezia Mestre ke Venezia St. Lucia yang hanya berjarak 1 stasiun. Ongkosnya murah, 1.30 euro untuk bus dan 1.25 euro untuk kereta. Selain bisa dibeli di loket dan mesin otomatis, tiket ini bisa dibeli di tabbacheria atau tukang rokok (tabbachi) dengan simbol letter T biru besar sebagai penanda. Beli di mana pun harganya sama saja kok. Saya biasa langsung membeli 2 lembar tiket, 1 untuk pergi, 1 untuk pulang.

Transportasi di dalam Venice
Keliling kota ini cukup tricky. Sistem transportasi dikelola oleh ACTV dan perusahaan ini menawarkan beberapa pilihan transportasi yang bisa dipakai:

Vaporetto
Singkatnya, vaporetto itu seperti bus, tetapi berbentuk kapal berukuran sedang yang bisa menampung banyak orang. Di Venice sendiri terdapat 22 line vaporetto, kita bebas memilih rutenya. Harga tiket vaporetto adalah 7.50 euro (2015) untuk perjalanan 75 menit. Mahal banget kan! Sebagai perbandingan, 1 tiket yang sama harganya 1.50 euro di Roma dan 1.20 euro di Florence. Bukan Venice namanya kalo nggak mahal. Peta rute vaporetto bisa di-download di sini. Harga tiket yang mahal ini bisa kita siasati dengan membeli pass atau travel card yang bisa dipakai unlimited, termasuk bus di Mestre. Travel card ini bisa dibeli di loket tiket mana saja.
Photo courtesy of www.goitaly.about.com
20 euro - travel card 1 hari30 euro - travel card 2 hari
40 euro - travel card 3 hari
60 euro - travel card 7 hari
Kalau kita mengambil travel card 1 hari, supaya nggak rugi, kita harus memakai vaporetto minimal 3 kali. Menurut saya, pakai saja vaporetto untuk ke Murano atau Lido, pulau-pulau yang agak minggir yang dilewati rute vaporetto. Kenapa? Karena vaporetto di pulau utama hanya menyusuri Grand Canal, ujung-ujungnya nanti kita juga akan banyak jalan kaki. Untuk orang yang masih muda (6-29 tahun), bersyukurlah karena ada pass 72 jam seharga 22 euro (ada tambahan 6 euro untuk kartu Rolling Venice). Lumayan nih!

Water taxi
Buat orang-orang yang banyak uang, naik taksi ini bisa jadi alternatif. Sekali naik saja tarifnya sudah 18.50 euro dan akan bertambah 1.80 euro per menit. Belum lagi kalau bawa bagasi, akan kena charge 3 euro per piece. Plus ada charge lagi di waktu tertentu dan hari Minggu. Mending lupain naik ini aja deh...
Photo courtesy of www.venicewatertaxi.com
Gondola
Kayaknya setiap turis (kaya) wajib naik gondola di Venice, apalagi pasangan. Romantisnya emang kerasa, apalagi di dalam gondola cuma berdua padahal maksimalnya 6 orang. Sekali jalan gondola, kamu bisa di-charge 80 sampai 100 euro per kapal, jadi bisa patungan. Sebenarnya harga ini bisa ditawar, tapi nanti durasinya juga dipersingkat. Tapi biasanya kisaran harganya akan sama. Pastikan saja deal harga, rute, dan durasi disepakati di awal. Jangan mau ditipu sama gondolier-gondolier ganteng! Kalau mau tambah dinyanyiin sama gondolier-nya, bisa, tapi ada charge 35 euro per orang. Best time naik gondola: sunset.
Crowded canal!
Traghetto
Kadang, nyasar di Venice bikin capek, udah muter-muter nyari jalan, begitu ketemu Grand Canal, eeeh, jembatannya jauh! Ada cara untuk menyebrangi kanal utama kota, yaitu dengan traghetto, kapal kecil sedikit lebih besar dari gondola yang didayung oleh 2 pria. Biaya menyebrang adalah 0.50 euro, langsung dibayar ke gondolier. Kalo kapalnya banyak orang, siap-siap berdiri yah!
Photo courtesy of www.redisitaly.com
Transportasi Venice - Marco Polo Airport
Untuk transportasi dari Venice ke Marco Polo (VCE) yang terletak di Mestre, lebih murah naik bus karena alternatif lain adalah naik water taxi seharga 35 euro per orang. Aerobus Line 5 berangkat dari Piazzale Roma (terminal bus) ke bandara dan akan ditempuh selama 25 menit. Harga tiketnya 8 euro sekali jalan.

Transportasi Venice - Murano, Burano, dan Lido
Tiga pulau yang ada di sekitar pulau utama ini menjadi salah satu tujuan turis yang datang ke Venice. Murano terkenal dengan kerajinan gelasnya. Jangan tertipu dengan penjual suvenir yang nulis "Made in Venice" karena sebagian berasal dari Cina. Apalagi, gelas Murano yang asli bisa berharga sangat tinggi, mencapai ratusan bahkan ribuan euro. Jadi saran saya, kalau ingin beli suvenir murah, jangan beli gelas yang katanya buatan Murano. Kalau pengen liat Venice yang colorful, datanglah ke Burano, saya aja menyesal nggak sempet ke sini karena nggak punya banyak waktu dan uang supaya bisa lama-lama di Venice. Kalau Lido, terkenal karena Venice Film Festival diadakan di sini setiap tahun. Kalau mau ke Murano dan Burano dari Ferrovia (stasiun utama), naik vaporetto nomor 4 atau 5, turun di Fondamente Nove. Untuk ke Burano dari sana, naik vaporetto nomor 12. Sedangkan ke Murano naik vaporetto nomor 4.1 atau 4.2. Lido ada di selatan pulau utama, kita harus naik vaporetto apa saja ke San Marco, lalu dari sana naik vaporetto lain menuju Lido.
Venice dari atas. Sebelah kiri atas terdapat Ferrovia dan Piazzale Roma, sementara yang di bawah adalah Piazza San Marco, di tengah kecil, ada Ponte Rialto. Untuk keliling Venice, kita cukup menavigasi 4 tempat penting ini saja
Semua yang udah saya sebutin di atas, nggak ada yang ngalahin sensasi nyasar di Venice dengan berjalan kaki. Kota ini sendiri seperti labirin raksasa, tetapi punya setiap kejutan di sudutnya. Peta nggak banyak membantu, banyak gang yang tidak ditempeli nama dan tidak tergambar di peta. Saya sendiri pernah nyasar-nyasar eh, akhirnya nggak sengaja menemukan gereja tempat pembaptisan Antonio Vivaldi. Gimana triknya supaya tahu arah? Di seantero kota tersebar papan petunjuk warna kuning, ikuti arah RIALTO kalau mau ke Ponte Rialto yang terkenal itu, P. SAN MARCO kalau mau ke Piazza San Marco, tempat St. Mark's Basilica, Sigh Bridge, Campanile, dan Doge's Palace, FERROVIA kalau mau ke Stasiun Venezia Santa Lucia (stasiun utama pulau, tempat para vaporetto pada ngetem), PIAZZALE ROMA kalau mau ke terminal bus. Cukup itu saja, sisanya silakan tersesat!

-@travelitarius my suggestion: do not visit Venice in summer. It's frickin hot and crowded!
Read More
Day 34: 11 Juli 2015

Free walking tour adalah salah satu kegiatan seru yang bisa kita ikutin kalau baru pertama kali datang ke suatu kota. Selain karena mereka meng-cover tempat-tempat penting dan bersejarah, kita bisa ketemu teman-teman baru dari berbagai negara, tahu tentang gosip atau cerita lokal, dan enaknya kita bisa ngasi tip semampu kita. Sewaktu di Ljubljana, saya sempatkan diri untuk mengikuti free walking tour yang menjadi pelopor free walking tour di Eropa dan menduduki peringkat 1 di TripAdvisor Things To Do in Ljubljana. 

Seperti semua free walking tour, jadwal dan meeting point mereka sudah fixed setiap hari. Kamu tinggal cek ke website mereka masing-masing dan langsung datang saja tanpa reservasi. Kalau Ljubljana Free Tour ini meeting point-nya di depan Pink Church di Preseren Square, sangat strategis di Ljubljana yang kecil ini. Tur berjalan setiap jam 11 siang dan 3 sore, cari guide mereka yang selalu berkaos kuning. Hari itu kami ditemani Tina, tur guide berlisensi dengan PhD dari Ilmu Sosiologi di University of Ljubljana. Nggak heran kalau kita akan mendapat buanyak banget informasi dan cerita dari Tina tentang kotanya ini. Gratisan sih gratisan, tapi guide-nya bermutu!
Our cheerful guide: Tina! (maaf dari belakang fotonya, hehe)
Setelah registrasi di depan Pink Church, kami pun mulai berjalan. Tur yang akan memakan waktu kurang lebih 2 jam ini akan meng-cover bangunan-bangunan penting yang ada di sini, kecuali Ljubljana Castle. Di awali dengan cerita singkat kota Ljubljana yang artinya "beloved", kota ini jadi nggak kalah romantis dengan Paris. Lalu ada cerita cinta tak sampai sastrawan negara, France Preseren, yang patungnya ada di main square tersebut. Jarang-jarang sastrawan dijadikan patung utama di square utama lho, biasanya kan pahlawan, raja, ratu, atau paus. 
Pink Church, meeting point kami, dilihat dari Triple Bridge
Pink Church (Fransiscan Church of Annunciation)
Lalu cerita Tina berubah menjadi tentang Jose Plecnik, sang maestro arsitektur Slovenia yang punya andil besar merancang Ljubljana. Karya Plecnik sekarang bisa kita lihat di seantero kota, seperti Triple Bridge, perpustakaan nasional Slovenia, The Fish Market, sampai gedung parlemen Slovenia. Bisa dibilang, Ljubljana ini sebagai Plecnik City
Fasad samping perpustakaan nasional Slovenia, karya Plecnik
Lalu perjalanan dilanjutkan ke kantor walikota Ljubljana, di situ Tina bercerita tentang sistem pemerintahan di Slovenia. Lagi asyik-asyik ngobrol, tiba-tiba keluar bapak-bapak gemuk menyapa Tina dan bilang pada kami dalam bahasa Slovenia, kurang lebih begini, "You have visited the most beautiful city in the world!" Pas bapak-bapak itu menjauh, Tina nyeletuk, "That's the Mayor of Ljubljana." Serentak kami, "Oooh!"

Tadi itu bener-bener Zoran Jankovic, walikota Ljubljana! Santai banget ngeloyor keluar dari kantornya pakai kemeja santai dan jins, jalan ke jalan umum seperti orang biasa. Pak Zoran ini awalnya adalah seorang businessman yang punya jaringan Mercator, sejenis Alfamart di sini. Beliau pernah menjabat sebagai walikota selama 1 periode, lalu mencalonkan diri sebagai Perdana Menteri Slovenia namun gagal, kemudian kembali menjabat sebagai walikota. Pak Zoran adalah satu-satunya walikota yang menjabat dalam 2 periode sejak Perang Dunia II. Tina bilang, di sini, saking kecilnya kota ini (cuma 250.000 jiwa) pejabat pun membaur dan hang out di kafe dengan orang biasa.

Dari sana, kita diajak ke Dragon Bridge, Ljubljana Cathedral, perpustakaan nasional, dan Fish Market. Lalu kami berpisah tak jauh dari Pink Church. Tak lupa, saya menyisihkan uang receh sisa ke kantong tip yang ditaruh Tina di lantai agar kami bisa menyumbang berapa pun yang kami mampu. Siang itu, cuaca masih cukup bersahabat, saya masih kuat berpuasa. Tujuan saya berikutnya adalah titik tertinggi di Ljubljana, Ljubljana Castle.
Ljubljana Castle
View dari Ljubljana Castle
Sorenya, Tina, host Couchsurfing saya (bukan tour guide yang tadi) SMS saya untuk janjian di depan Pink Church sekitar jam 5 sore untuk hang out. For sure! Lalu kami duduk-duduk bertiga bersama pacarnya yang guanteng, Teo. Teo memesan bir dan Tina cappucino milkshake, sedangkan saya ngiler ngeliat whipped cream di atas milkshake-nya Tina karena berpuasa. Kami mengobrol duduk-duduk lama dan jalan-jalan sampai malam saat waktu berbuka puasa. Tina berkata, "Happy breakfast." Saya nyengir saat meneguk jus jeruk yang tadi saya beli. 
My Slovenian friend, I really miss them
Today was awesome! Saya suka banget sama Ljubljana, kecil dan cantik!

-@travelitarius #1 Things to do in Ljubljana: Free Walking Tour
Read More
Previous PostOlder Posts Home