Showing posts with label Myanmar. Show all posts
Showing posts with label Myanmar. Show all posts
Disclaimer: tulisan ini pernah dimasukkan ke www.catperku.com sebagai Guest Post

--------------------------------------------------------

Setelah ngumpulin pengalaman jalan-jalan di negara maju yang jauh lebih baik dari Indonesia dari segi ekonomi, infrastruktur dan pemerintahan, entah setan apa yang menghasut saya beli tiket ke Yangon, Myanmar. Pembeliannya pun cukup impulsif karena harga tiket PP-nya dari KL hanya 500 ribu rupiah. Dari awal saya memang tidak punya ekspektasi tinggi terhadap negara ini karena sebagai negara yang masih membuka diri, pasti nggak gampang traveling di sini, apalagi sendirian.

Setelah struggling dengan gigitan bed bugs di hostel busuk KL, berangkatlah saya ke KLIA2 untuk terbang ke Yangon. Sebelumnya, penerbangan saya ini di-reschedule jam berangkatnya sehingga kedatangan di Yangon sekitar 19.30 setempat. Ini jelas-jelas membuat saya gelisah karena saya sudah booking tiket bus malam JJ Express dari Yangon ke Bagan jam 20.00. Saya berusaha mereka-reka adegan gimana caranya dari turun pesawat sampai ke Terminal Bus Aung Mingalar dalam 25 menit. Imajinasi ini termasuk adegan lari secepat The Flash, lompatin loket imigrasi, sampai nge-drift pake taksi lokal. Huh, mustahil.

First encounter saya dengan orang Myanmar adalah di gate keberangkatan. Saya melihat wajah tipikal orang Asia Tenggara yang biasa ditemui di Thailand atau Kamboja. Wajah pria-prianya hitam dan wanita-wanitanya putih dengan dibalur bedak putih. Bedanya, pakaian mereka saya anggap norak karena suka pakai berlapis-lapis dan tabrak warna. Beberapa prianya juga mengecat rambutnya dengan warna ngejreng. Sejauh mata memandang, belum tampak yang memakai longyi (sarung), pakaian bawahan tradisional Myanmar. Aroma mereka pun khas, seperti bunga yang sudah sangat layu. Mereka juga sudah sangat familiar dengan smartphone, merek yang paling banyak dipakai adalah merek Korea yang huruf depannya “S”. Banyak yang asyik ngobrol ditelepon dengan bahasanya (gile, roaming-nya mahal tuh! Mereka tahu nggak ya?), dengerin musik pakai loudspeaker smartphone dengan ditempel ke kuping dan nyanyi-nyanyi sendiri, dan duduk ngobrol sambil bagi-bagiin kotak rokok dari 1 slop. Saya senyum-senyum sendiri aja melihat tingkah ajaibnya. Ketika duduk sebelahan dengan mereka, saya cukup kasihan sama mereka karena ketika memegang paspor merah dengan huruf-huruf cacing di sampulnya, mereka juga melampirkan secarik kertas visa Malaysia. Gile, ke KL aja masih pake visa!

Tipikal orang Myanmar, semua pakai longyi, kayak mau sholat Jumat

Pas boarding, mereka pun lucu cenderung norak! Ada yang terpisah dari temannya lalu bingung-bingung sendiri nggak duduk di kursinya, ada yang masih asyik ngobrol di telepon, ada yang nggak ngerti di mana lokasi kursinya, ada sudah di kursi tapi berdiri-berdiri nggak jelas teriak-teriak ke temannya di depan, ada yang mau take off masih tetep nggak pake seat belt. Fiuuuhh… good luck deh buat cabin crew-nya!

Salah satu bapak-bapak yang tadi bagi-bagi kotak rokok duduk di sebelah saya, pfffttt… baunya! Nggak mau jahat, saya duduk anteng di jendela, ngeliatin sayap pesawat. Tiba-tiba ponsel bapak itu (sebutlah Bambang) bunyi dan dia mengangkatnya. Ebuset, udah mau take off ini! Nggak lama, pramugari datang dan menyuruhnya mematikan ponsel dengan sopan. Kena lo sama pramugari, hahahaha! Pesawat mulai mundur dan taxi, saya lalu kepo, ngeliatin ponselnya terus. Kirain udah dimatiin, emang dasar nggak ngerti bahasa Inggris, ponsel Bambang berdering lagi pas pesawat sudah ambil posisi di runway! Bleguk!

You have to turn it off now,” kata saya kepadanya, menunjuk-nunjuk ke ponselnya. “NOW. OFF.”

Fiuh. akhirnya dimatiin jugaaaa…. Entah berapa orang lagi di pesawat yang nggak ngerti harus mematikan ponsel dan tetap membiarkan ponselnya hidup saja selama terbang. Saya jadi lebih kuat berdoanya dan nggak bisa tidur karena banyak yang diperhatikan dari orang-orang lucu ini. Dan jujur saja, akumulasi aroma mereka membuat saya nggak bisa tidur karena membuat saya nggak nyaman selama penerbangan. Mana Bambang terus-terusan ikutan ngeliat pemandangan di jendela samping saya dengan bau badan dan mulutnya yang semerbak. Hush… hush… hush… 
Lah, gelap dari atas!
Mendekati Myanmar, first officer bilang kalau 15 menit lagi kami akan landing. Saya melihat ke daratan Myanmar yang sebentar lagi saya jelajahi, gelap gulita! Hanya ada beberapa titik lampu dan menyebar, selebihnya hitam saja. Masak sih Myanmar masih jarang listrik? Lampu di kota Yangon saja biasa, seperti Bondowoso malam hari.
Yangon International Airport, udah bagus :)
Perjalanan 3 jam di kopaja terbang (baca: AirAsia A320) akhirnya mengantarkan saya ke Yangon International Airport pukul 19.28 yang secara penampakan mirip Terminal 3 Soekarno-Hatta, kecil dengan desain modern. Saya pun lari-lari melewati orang-orang dan buru-buru mencari konter imigrasi dan langsung mengantri. Dalam perjalanan saya melihat pemandangan yang nggak pernah saya lihat: manusia Myanmar, banyak, pake longyi, berdiri menempelkan muka ke kaca, dan melambai-lambai ke saudaranya yang sedang berjalan ke imigrasi. Seketika saya excited karena sudah sampai di sini!

Kelar proses imigrasi, saya pun berjalan keluar mencari ATM dan menarik uang kyat. Kelar urusan perduitan, puluhan orang menghampiri saya, “Taxi? Taxi?” dengan mulut bau pinang. Saya menghampiri salah satu supir taksi ber-longyi.

Taxi to Aung Mingalar?” Dia manggut-manggut, “How much?”
“8.000.”
No. It’s not that far! 5.000.” Saya sudah riset dulu di Google Maps. Ongkos 8.000 adalah ongkos ke pusat kota, sementara lokasi terminal bus ini agak di pinggiran.
Dia menggeleng. Oke, gak papa. Saya lalu pindah ke supir taksi yang lain, “Aung Mingalar? How much? I only want 6.000.” Ya gak papalah saya naikin dikit.
Okay, okay, 6.000.”
Okay. Let’s go fast,” kata saya ala peserta The Amazing Race.

Semua supir taksi yang tadi ngerubungin saya nggak ada yang bermaksud jahat, menipu, atau overcharge turis. Taksi mereka nggak punya merek, dengan mobil berwarna putih jadul merek Toyota Corolla 1970-an atau Toyota Super Roof 1980-an. Penampakan supirnya pun nggak biasa. Perawakan dari muda sampai tua dengan gigi-gigi keropos dan berwarna kuning kemerahan akibat mengunyah pinang. Nggak ada merek apalagi seragam, mereka cuek aja pake longyi sehari-hari (belakangan saya tahu kalau mereka cuma pakai celana dalam supaya anginnya semilir, hahaha). Jangan harap ada AC di dalam taksi, udah syukur hanya kamu penumpangnya. Terkadang mereka mengambil beberapa orang lain untuk memenuhi mobil bahkan bagasinya. Yep, manusia dimasukkan ke bagasi mobil. Ajaib.
Tipikal taksi di Myanmar (image courtesy of www.go-myanmar.com)

Dan ternyata Myanmar ini punya aromanya sendiri: campuran bunga atau buah busuk dan daun/biji pinang. Dalam satu negara, saya ke 3 kota, aromanya sama! Khas banget dan akan nggak kebayang bagi yang belum pernah ke sana. Aroma ini muncul dari banyaknya sesajen bunga dan buah untuk Buddha dan banyak sekali yang meludah pinang di jalan-jalan. Pemandangan biasa banget kalo ngeliat ludah merah di trotoar, jalan, atau jembatan. Kalau di Indonesia orang banyak merokok, mereka ngunyah pinang. Saya berasa main lompat-lompatan karena selalu berusaha menghindar supaya nggak nginjek. Supir taksi aja pada cuek ngebuka pintu mobil dan ngeludah ke jalan waktu nunggu lampu merah. Iyuuuuhhhh….

Jalan kota Yangon lebar, terdapat 4 lajur, 2 untuk masing-masing arah dan mobil berkendara di lajur kanan padahal setir di kanan! Bikin deg-degan gak sih kalo supir taksi ini mau nyalip? Apalagi bus, bayangin kalo pintunya ada di kiri dan kita turun di tengah-tengah jalan. Greget banget kan.
Jalan di Yangon, dengan Bogyoke Market di sebelah kiri

Pukul 20.10 saya sampai di terminal Aung Mingalar di konter JJ Express, merek bus yang sudah saya book untuk ke Bagan. Saya bertanya ke petugas yang di konter apakah bus yang sedang parkir di depan adalah bus saya. Berhubung pengucapan Bahasa Inggris orang Myanmar sangat susah untuk dimengerti, saya berusaha menebak-nebak kalau bus yang saya book sudah berangkat 10 menit yang lalu dan bus yang sedang parkir itu ke Mandalay dan sudah penuh. Mati gua. Saya bertanya lagi apa ada line bus lain yang bisa ke Bagan malam ini juga. Dia bingung. Kondisi saat itu sangat ramai, banyak orang lokal dan petugas saling tanya-tanya karena kurang mengerti Bahasa Inggris. Akhirnya ada cewek lokal, namanya Mi Mi, dengan Bahasa Inggris terbagus se-Myanmar yang menawarkan membantu saya mencarikan bus. Kami keliling ke konter-konter bus lain. Nope, malam ini tidak ada connection ke Bagan lagi, semua sudah berangkat. Secara umum, orang Myanmar ramah sekali dan mau membantu. Beberapa orang mengerubungi saya berusaha membantu tetapi keterbatasan bahasa.
Bus malem ke Mandalay, doa pujian untuk Budha disetel kenceng-kenceng non stop

Atas saran Mi Mi, saya ke konter line bus Elite di bagian lain terminal, cukup jauh bila berjalan kaki. Mi Mi bilang hanya 1000 kyat naik taksi. Elite juga nggak punya koneksi ke Bagan malam itu, saya lalu berhenti sejenak dan berpikir. Oke, saya memutuskan untuk mengganti itinerary, dari Yangon-Bagan-Inle Lake-Yangon menjadi Yangon-Mandalay-Bagan-Yangon. Saya lalu membayar tiket bus ke Mandalay, mbak-mbak konter menuliskan tiket dan nomor tempat duduk dan saya langsung masuk ke bus. Dengan formasi 2-2, ber-AC, dikasi bantal dan selimut, dan ada bus attendant, saya senang sekali karena di Myanmar sekalipun, saya bisa traveling dengan nyaman. Perjalanan akan memakan waktu 9 jam sejauh 636 km, hampir sama dengan Jakarta ke Madiun. Semua penumpang adalah orang lokal kecuali saya. Untungnya di samping saya tidak ada orang, jadi bebas ngambil 2 kursi untuk sendiri. Saya pun istirahat sambil ditemani doa-doa pujian untuk Buddha yang disetel sepanjang malam.

Hanya dalam beberapa jam, saya bisa bercerita banyak dan mendapat pengalaman kultural yang berbeda. Myanmar, you’ve been awesome. Saya menanti apa yang akan terjadi selanjutnya di Myanmar karena pasti akan begitu banyak kejutan. Stay tuned!
Read More
Myanmar. Well, mungkin sebagian dari teman-teman saya mengangkat alis tinggi-tinggi ketika dengar saya akan solo backpacking ke Myanmar. "Ada apaan di sana?" Jujur aja, sebelum berangkat, saya terus-terusan mikir, "Lah, ngapain sih lu beli tiket ke Yangon? Sendirian lagi!" Tiket 500 ribu pulang pergi itu sangat menggoda, anak muda! Bodo amat, berangkat aja, masalah di sana, dipikirin nanti aja. Dengan modal informasi yang nggak terlalu banyak, pergilah saya ke Yangon dengan transit di Kuala Lumpur. Di Kuala Lumpur, saya nggak hanya dapat gigitan kutu kasur di Fernloft Hostel KL, tapi saya juga baru nyadar kalo USD yang saya siapin ketinggalan di rumah! Walah, padahal USD adalah "modal" awal saya untuk survive di sana karena saya gak tahu ATM saya berfungsi atau enggak di sana. Hahaha, antara panik dan ngebego-begoin diri sendiri, saya akhirnya cuma bisa berdoa, kartu ATM saya dan mesin ATM di bandara Yangon baik-baik saja sehingga saya bisa tarik uang dalam kyat.

Hari 1: Jakarta - Kuala Lumpur (by Lufthansa)
Akomodasi: Fernloft Hostel KL, gak recommended. Petugasnya judes, area sarapannya jorok, kasurnya banyak kutunya. The worst.

Hari 2: Kuala Lumpur - Yangon (by AirAsia)
Begitu sampai di bandara Yangon, saya super excited melihat orang-orang lokal yang memakai longyi berdiri berjejeran menunggu yang dijemput. Bahkan petugas custom menyapa saya dengan bahasa lokal karena muka orang Indonesia sangat mirip dengan muka orang Myanmar. Saya langsung mencari ATM dan memasukkan kartu dengan harap-harap cemas. Duh, gimana kalo gak bisa? Ternyata mesin ATM-nya rusak. Walah, saya nggak punya uang sepeser pun, semua uang ada di tabungan dan bego banget saya ninggalin USD di rumah. Saya lalu keluar mencari ATM lain dan mencoba menarik uang. Thank God it worked! Selesai urusan duit, saya keluar dengan hepi dan mencari taksi.

Taksi dari RGN ke Terminal Bus Antar Kota Aung Mingalar: MYK 6.000. Kalau mau ke kota-kota tujuan utama di Myanmar seperti Inle Lake, Bagan, dan Mandalay, naik busnya dari terminal ini.

Tiket bus dari Yangon ke Mandalay (Elite bus): MYK 10.700. Bus malam yang sampai di Mandalay besok paginya, 9 jam perjalanan darat dengan jalan yang belum muluss... Dapet selimut, bantal, dan refreshing kit (odol, sikat gigi, dan tisu basah).

Bekal di bus, roti 2 buah MYK 1.300

Bus malam dari Yangon ke Mandalay
Hari 3: Mandalay
Dengan mata beler karena nggak tidur, saya turun dari bus pukul 4 pagi dan bingung mau ke hotel mana pagi buta begini. Karena saya sudah mencatat alamat-alamat hotel yang mau saya jadikan tempat menginap, saya langsung nyamperin supir taksi yang mana aja dan bilang saya mau ke Royal Yadanarbon Hotel. Bukannya saya nggak punya spirit backpacker naik taksi melulu, soalnya di Myanmar, transportasi umum untuk turis masih susah untuk dimengerti dan kurang manusiawi. Pokoknya kalo ke Myanmar, berasa banget waktu seakan berhenti, peradaban modern belum masuk ke sini, kecuali ponsel dan internet (yang juga terbatas di hotel saja). 

Taksi ke Royal Yadanarbon Hotel: MYK 4.000
Royal Yadanarbon Hotel, 1 malam: MYK 22.000 atau USD 20

Hotel ini sangat recommended walaupun letaknya agak melipir di pinggir kota. Concierge-nya baik banget, membolehkan saya check-in pagi buta, padahal biasanya kan baru bisa check-in jam 13.00. Sarapan enak dengan teh khas Myanmar yang super nikmat. Sarapan ini saya dapatkan dua kali karena saya nyampe pagi buta, padahal saya hanya sewa kamar 1 malam, ehehehe. Mereka juga membantu saya mem-booking transportasi ke Bagan untuk keesokan harinya. Oh, dan mereka juga mencarikan ojek harian yang bisa saya sewa. Pokoknya mereka berusaha yang terbaik untuk melayani tamu-tamu hotel. Kamar yang bersih, baru, dan rapi. Daaan... internetnya jalan, itu yang penting. 

Ojek harian Mandalay: MYK 12.000 (seharian)

Ojek ini saya pakai untuk melihat yang penting-penting Mandalay, dimulai dari Mandalay Palace, Mandalay Hills, U-Bein Bridge, sampai ke tempat-tempat workshop patung Buddha dan kertas emas. 

Donasi pagoda di Mandalay Hills MYK 100
Donasi Mahamuni Pagoda MYK 500
Donasi titip sepatu MYK 200
Makan siang MYK 1.000
Parkir MYK 200

Irrawady River, lagi musim kering, jadi cukup surut

Mandalay Hills

Enaknya punya ojek pribadi, bisa dijadiin fotografer seharian, haha
U-Bein Bridge
Hari 4: Mandalay - Bagan
Pagi-pagi saya check out dan sarapan. Hari ini saya akan ke kota gersang sekaligus sangat bersejarah bagi Myanmar: Bagan. 

Tiket masuk kawasan Bagan: MYK 22.000 (deuuu, mahalnya)

Karena waktu saya sempit banget, makanya saya langsung sewa delman buat nganterin saya ke pagoda-pagoda terpenting di Bagan dan nungguin saya nunggu sunset di puncak pagoda.

Sewa delman seharian: MYK 20.000 (worth every kyat, abangnya lucu dan baik banget)
Makan siang: MYK 2.500

Bagan, sesuatu banget kota ini. Tapi masuknya mahal, hiks :'(
Tipikal transportasi umum di Myanmar, yang ini ukurannya sedang.

Malamnya saya langsung cabut naik bus malam ke Yangon, sempet ketemu dengan rombongan backpacker Indonesia juga dan jadi teman perjalanan sampai Yangon. 

Tiket bus malam ke Yangon dari Bagan: MYK 18.500, Busnya kece, VIP dengan formasi tempat duduk 2-1, dapet snack dan minuman dari pramugarinya, ehehehe.

Hari ke 5: Yangon

Hostel yang saya pilih letaknya dekat Botataung Pagoda, namanya Hninn Si Budget Inn. Hostel ini basic, tapi yang nggak saya suka adalah dinding antar kamarnya adalah kayu, jadi kita bisa mendengar riuh orang dari luar atau kamar sebelah. Internetnya lumayan kenceng dan saya boleh check in lebih awal karena bus saya nyampe pagi buta. Saya jalan kaki muter-muter sampai ke Bogyoke Market, dari sana saya ke Shwedagon Pagoda, pagoda terbesar di Myanmar. 

Taksi dari terminal bus ke Hninn Si Budget Inn: MYK 4.000
Makan siang: MYK 2.500
Taksi ke Shwedagon Pagoda: MYK 2.000
Tiket masuk Shwedagon Pagoda: MYK 8.000
Makan malam: MYK 3.500
Shwedagon Pagoda

Weekend paling seneng sembahyang di kuil :))

Kiri, gedung putih: Bogyoke Market
Hari ke 6: pulang!

Sum up: itinerary saya adalah Jakarta - Kuala Lumpur - Yangon - Mandalay - Bagan - Yangon - Kuala Lumpur - Jakarta.

Semoga bermanfaat!

-@travelitarius next destination: Manila
Read More
Selamat bulan Februari! Udah lama banget gak nulis, gara-gara tugas kuliah yang nggak ada habis-habisnya, hiks... Mumpung lagi males belajar, gimana kalo kita ngomongin budget? Kali ini saya akan menguraikan pengeluaran di Myanmar. Saya ke sana pada tahun 2015, jadi semoga harga-harga dicantumkan di sini masih bisa memberikan gambaran.

First thing first, menurut saya jalan-jalan di Myanmar itu mahal. Kemana-mana harus naik taksi dan kalau kita ke Bagan, kita harus membayar biaya masuk ke kota dengan ribuan candi ini, dan biaya ini mahal. Karena ke mana-mana naik taksi, maka lebih baik memang kita harus pergi minimal berempat orang supaya bisa sharing biaya. Tapi karena saya ke sana sendirian, jadinya terasa mahal.


PENGELUARANDALAM KYATDALAM IDR
TRANSPORTASI
Taksi ke Terminal Bus Aung Mingalar K6,000Rp78,000
Taksi ke Terminal Bus EliteK1,000Rp13,000
Tiket bus Elite ke MandalayK10,700Rp139,100
Taksi ke Royal Yadanarbon Hotel MandalayK4,000Rp52,000
Parkir Mandalay HillK200Rp2,600
Sewa ojek 1 hari di MandalayK12,000Rp156,000
Tiket bus JJ Express VIP ke YangonK18,500Rp240,500
Sewa delman seharian di BaganK20,000Rp260,000
Taksi ke Shwedagon PayaK2,000Rp26,000
Taksi ke City Hall YangonK2,500Rp32,500
Taksi ke Hninn Si Budget Inn YangonK3,000Rp39,000
Taksi ke Yangon International AirportK8,000Rp104,000
SUBTOTALK87,900Rp1,142,700
MAKAN
Roti untuk bekal perjalanan (2 buah)K1,300Rp16,900
Makan siang di MandalayK1,000Rp13,000
Makan siang di YangonK2,500Rp32,500
Makan malam di Yangon (kelas mal)K3,500Rp45,500
Snack Myanmar (oleh-oleh)K7,350Rp95,550
Teh MyanmarK1,200Rp15,600
SUBTOTALK16,850Rp219,050
AKOMODASI
Royal Yadanarbon Hotel Mandalay (1 malam)K22,000Rp286,000
Hninn Si Budget Inn Yangon (1 malam)K22,000Rp286,000
SUBTOTALK44,000Rp572,000
JALAN-JALAN
Tiket masuk Shwedagon Paya YangonK8,000Rp104,000
Tiket masuk kota BaganK22,000Rp286,000
Donasi di kuil Mandalay HillK300Rp3,900
Donasi di Mahamuni Pagoda MandalayK500Rp6,500
SUBTOTALK30,800Rp400,400
SUVENIR
Longyi 1 buahK10,000Rp130,000
Bedak thanakaK4,150Rp53,950
Magnet suvenir MyanmarK2,000Rp26,000
LacquerwareK5,000Rp65,000
Suvenir gantungan kunciK2,000Rp26,000
SUBTOTALK23,150Rp300,950
TOTAL PENGELUARANK202,700Rp2,635,100

Oke, oke, saya memang boros di bagian transportasi. Tapi karena saya nggak punya waktu banyak, sementara ingin melihat 3 kota dalam waktu singkat, saya terpaksa memilih cara yang cepat, mudah, dan nyaman untuk melihat kota seperi naik taksi, sewa ojek, dan sewa delman. Walaupun agak mahal, menurut saya setimpal dengan pengalamannya... Saya bebas ngobrol dengan supir saya tentang Myanmar dan mereka memang baik-baik banget! Jadi berasa ikhlas bayar sedikit mahal, hehe... Untuk taksi, harga di atas adalah harga wajar, saya sering bertanya dengan petugas hotel mengenai tarif taksi, dan memang supir taksi di sana tidak mematok tarif tinggi untuk turis. Untung saja... Myanmar, stay awesome...

Ada komen, tambahan, atau pertanyaan? Silakan isi kolom komen dibawah ya!

-@travelitarius do you want to time travel? Go to Myanmar, a place where you will feel the most humble feelings
Read More
April lalu saya berkesempatan untuk mengunjungi Myanmar, negara Asia Tenggara keempat yang saya kunjungi. Kenapa Myanmar? Temen saya juga pada nanya, “Random banget lu ke sana!”, “Liat apaan di sana?” Tapi karena tiket pesawatnya cuma Rp 500.000-an pulang pergi dari KL, sayang banget dilewatin kan? Lagi pula, sebagai negara yang baru saja membuka diri terhadap dunia luar, saya penasaran negara ini isinya apa. Saya suka nih negara yang kayak gitu, less tourists, more experiences.

Seminggu sebelum berangkat, saya nervous berat, sakit perut. Selain karena saya berangkat ke negeri antah berantah sendirian, saya juga banyak baca hal-hal jelek tentang Myanmar, misalnya sinyal wifi jarang ditemukan, jarang yang bisa Bahasa Inggris, jalannya jelek, ke mana-mana mesti naik taksi, dan segala macem lainnya. Tapi the show must go on. Saya pun berangkat ke negara beribukota Nay Pyi Daw ini (bukan Yangon lagi loh ya).
Di depan gerbang Mandalay Palace, dengan latar Mandalay Hills
Berikut hal-hal yang perlu diketahui sebelum pergi ke Myanmar, versi saya J

1. Myanmar sudah bebas visa 15 hari kalau kita masuk dari bandara-bandara utamanya. Untuk jalur darat, visa harus dibuat di Kedubes Myanmar di Jakarta. Nah lho, saya aja baru tahu kalo ada perwakilannya di Indonesia, hehehe. Karena waktu itu saya sampai di Yangon International Airport, jadi tinggal cap-cap imigrasi dan bebas masuk ke sana.

2. Mata uang negara ini adalah kyat, dibacanya chat dan dijamin, susah banget mau nuker uang kyat ini di Indonesia. Nggak usah pusing, cukup bawa kartu ATM-mu dan beberapa lembar uang USD yang bersih, rapi, mulus ke sana. Kenapa mesti mulus, ntar di poin lain. Waktu itu, uang dolar yang sudah saya siapkan berhati-hati supaya nggak cacat sedikit pun ketinggalan dengan sukses di rumah. Akhirnya saya nervous juga pas nyampe di airport. Saya memang berniat mengambil uang saja di ATM, tapi gimana kalo mesinnya rusak? Trus saya nggak punya uang sepeser pun? Ternyata mulus banget ngambil uangnya. Saya pun keluar airport dengan gembira.

3. Transportasi yang umum dipakai turis ke Yangon adalah taksi. Bahkan orang lokal sering memakainya. Di sini, saya lebih sering naik taksi dari pada di Jakarta sekalipun. Kenapa? Karena bus susah dipelajari. Bayangin aja, bus rongsok ala PPD jadul, dengan tulisan cacing meliuk-liuk, malah busnya dipenuhi manusia sampai ke atap, yang ada saya malah nyasar-nyasar. Saran saya, pergilah berempat bersama teman agar sharing ongkos taksi, atau cari teman turis yang bisa diajak sharing supaya lebih murah. Taksi di sana tanpa argo, kita harus tawar menawar dulu sebelum naik. Tapi, biasanya supir taksi nggak berusaha nipu tarif untuk turis, jadi harga yang mereka patok bisa jadi memang harga yang sudah fair. Saya suka naik taksi di sana karena kebanyakan mereka bisa berbahasa Inggris dan bisa diajak ngobrol tentang negara mereka.
Tipikal transportasi umum di Myanmar. Foto bus ini diambil di kota Bagan
4. Longyi. Longyi adalah istilah mereka untuk menyebut pakaian bawahan mereka yang berbentuk seperti sarung. Hampir 100% orang Myanmar menggunakan longyi untuk kegiatan sehari-hari. Cara mengikat longyi juga berbeda untuk laki-laki dan perempuan. Kalau motif longyi untuk perempuan lebih colorful dan beragam, sementara laki-laki plain kotak-kotak kecil saja. Kenapa bentuknya sarung? Meeen, di sana mataharinya ada empat, puanas pol sekaligus kering, sarung adalah bawahan yang nyaman dipakai karena anginnya semilir, wong mereka cuma pakai celana dalam di bawahnya, hahaha. Pas saya ditanya tukang ojek yang lagi mangkal asal saya dari mana, saya bilang dari Indonesia, “Aaah... Borobudur. And Indonesia makes a good longyi.” Saya membenarkan juga, soalnya pas saya bawa oleh-oleh longyi buat Papa saya, saya pegang, bahan sarung Indonesia lebih adem dan motifnya beragam.

5. Thanaka. Bedak alamiah ala Myanmar ini berasal dari pohon thanaka yang batang pohonnya dicampur sedikit air, diserut halus, lalu dikeringkan sehingga berbentuk bubuk putih. Ini adalah kosmetik wajib bagi perempuan Myanmar, mereka membalurkannya ke wajah sehingga semua wajah mereka bernoda-noda putih. Bedak ini dingin dipakai di wajah, cukup efektif menahan panas matahari yang menyengat dan membuat kulit semakin sehat. Pernah lihat wajahnya Aung San Suu Kyi yang cantik itu kan? Umurnya udah 70 meeen! Manjur banget kan bedak ini *brb pakai thanaka*

6. Budaya minum teh di sini sangat kental. Setiap sudut jalan pasti ada tempat nongkrong  minum-minum dan teh selalu jadi minuman utama, diselingi dengan makanan-makanan berat dan ringan. Orang nongkrong pagi, siang, dan malam, duduk-duduk ngobrol sambil makan minum. Bahkan di setiap restoran, teh selalu disajikan di setiap meja dan gratis. Dan yang lebih okenya, ini pure subjektif, semua teh yang saya minum di Myanmar, semuanya enak! Teh mereka tuh seperti perpaduan teh hijau dan teh hitam, tanpa gula sudah terasa manisnya. Makanya pas pulang, saya borong teh buat di rumah.

7. Banyak yang bilang jalanan di Myanmar masih jelek, iya ada benarnya. Untuk Yangon, jalan raya lebar-lebar dan beraspal mulus. Mulai ke pinggiran, seperti perjalanan 9 jam ke Mandalay dari Yangon yang melewati desa-desa, masih banyak jalan yang berlubang-lubang sehingga perjalanan kurang nyaman. Mendekati Mandalay, jalan kembali mulus.

8. Seperti orang Papua, orang Myanmar suka sekali mengunyah pinang. Saking banyaknya ludah pinang di jalan, saya sampe udah nggak peduli lagi mau nginjek atau enggak. Menurut tur guide Free Yangon Walks, pemerintah sekarang sudah mulai kampanye pengurangan konsumsi pinang untuk menjaga kebersihan kota. Tapi, seems like nobody cares...

9. Jangan bayangin orang-orang Myanmar masih terbelakang dalam hal teknologi. Walaupun jaringan wi-fi hanya dimiliki hotel, mereka bisa akses internet melalui mobile data. Beberapa tahun yang lalu harga nomor perdana itu USD 1.000, mahal banget kan... Ketika sudah membuka diri, bandingkan harga jaman sekarang yang USD 10 dan sudah dijual di pinggir jalan persis kayak di Indonesia. Sudah banyak sekali yang punya smartphone, bahkan teman saya yang sais delman di Bagan kegirangan sendiri melihat Asus Zenfone 6 saya karena sama dengan ponselnya. Loh? Akhirnya kita ngobrol, “Lu kemaren belinya berapa?” tanya saya. “USD 250,” kata dia cengengesan. “Kok murahan elo sih?” Saya misuh-misuh sekaligus lucu sendiri, kok bisa... Dan seperti orang yang norak baru punya smartphone, dia minta di-add Facebook-nya. Lah!
Dusty old Bagan
10. Walaupun sebagian besar penduduk Myanmar masih miskin, kuil-kuil di sana terbuat dari emas. Shwedagon Pagoda, kuil terbesar di negara ini dengan tinggi 112 meter, hampir setinggi Monas, dilapis emas batangan. Bagian atas dari bangunan stupa tersebut dihias 5000 butir berlian dan 2000 batu rubi. Puncaknya terdapat berlian 76 karat seberat 15 gram. Gila gak sih? Hebatnya, mereka rajin sekali sembahyang ke kuil, bahkan ketika hari kerja, kuil-kuil dipenuhi dengan umat. Kotak amalnya penuh dengan uang, saya jadi miris sendiri, mereka mengutamakan membangun rumah Tuhan dibandingkan rumah sendiri.
Shwedagon Paya: kuil terbesar di Myanmar, dilapis emas
Masih banyak cerita tentang Myanmar yang pengen saya tulis. Tapi apa daya, tugas dosen juga banyak yang harus ditulis, huhuhu... 

-@travelitarius thank God I live in Jakarta, instead of Yangon
Read More
Previous PostOlder Posts Home