Showing posts with label Paris. Show all posts
Showing posts with label Paris. Show all posts
Day 5: 12 Juni 2014

Sudah 3 malam saya di City of Lights ini, saatnya pindah kota ke Amsterdam. Saya sudah tahu naik bus apa ke Porte Maillot Coach Park tempat Megabus saya akan berangkat. Pagi-pagi sebelum Francois berangkat kerja, saya berpamitan padanya dan mengucapkan banyak terima kasih.
Lovely and classy lady, typical Parisien
Everything went well sampai di Porte Maillot. Lalu saya bingung, di mana busnya diparkir? Saya lalu celingukan di kompleks Palais de Congres yang dekat dengan Porte Maillot. Begitu melihat ada serombongan traveler dengan backpack besar, saya pun ngikutin mereka. Pasti mereka mau naik bus juga. Taraaa... ternyata coach park-nya ada di balik gedung Palais. Saya lalu duduk-duduk menunggu keberangkatan. Busnya memang sudah datang, tapi terlihat 1 petugas sedang menyiapkan kabin. Megabus tujuan Amsterdam seharga GBP 12.50 ini melwati Brussels. Jadi nanti di Brussels akan ada yang naik dan turun. Perjalanan ke Brussels adalah 4 jam lalu Brussels ke Amsterdam 4 jam juga, jadi total 8 jam. Ternyata, kalau mau ke bandara Orly, naik busnya dari sini, pantesan banyak traveler yang ke sini. 
Megabus Amsterdam via Brussels
Pada dasarnya, saya suka perjalanan, jadi 8 jam di bus menurut saya tidak masalah karena banyak yang bisa dilihat di jalan. Megabus nggak punya nomor kursi, jadi tinggal cari sendiri kursi masing-masing. Supirnya orang Inggris dengan aksen Inggris yang medok, dan di setiap berangkat, dalam perjalanan, atau mendekati tujuan, supir selalu meng-update kita dengan informasi, persis pilot di pesawat. Setelah berkendara 4 jam-an, supir pun diganti. Kami berhenti di salah satu hotel di dekat jalan tol dan supir baru datang dengan koper berodanya. Persis pilot, heibat! Saya suka Megabus, sudah murah, jaringannya banyak, aman lagi! Baca review saya tentang line bus ini di sini

Beberapa penumpang turun dan naik di Brussels, di sini saya sempat melihat kota Brussels yang akan saya kunjungi 2 hari lagi. Perjalanan dilanjutkan dan kami kena macet di tol. Padahal cuma terlambat 15 menit, supir meminta maaf kepada para penumpang. Yaelah, 15 menit tuh angkot gue di Jakarta ngetem doang! Di bus saya berkenalan dengan 2 mahasiswa Indonesia yang akan ke Leiden mengunjungi keluarganya. Kami ngobrol sambil makan di rest area ketika break 30 menit.

Sudah sampai Amsterdaaaaam! Loh, mana kanalnya? Ternyata saya diberhentikan agak jauh dari pusat kota dan harus naik tram menuju Amsterdam Centraal, tempat saya akan naik kereta ke stasiun Almere Buiten, tempat host saya tinggal. Saya lalu melongo melihat fasad stasiun yang sangat indah (heavy breathing), sebagai penggemar arsitektur, bangunan stasiun ini masterpiece-nya Belanda! Setelah membeli tiket seharga 7.3 euro (ugh, mahal!) saya lalu celingukan mencari peron. Bodoh juga saya, kenapa tadi nggak langsung tanya ke petugas di loket keretanya ada di peron berapa. Lalu saya belagak bisa nyari sendiri, saya memperhatikan layar informasi keberangkatan kereta, I-HAVE-NO-IDEA-AT-ALL. 
Fasad Amsterdam Central, tipikal bangunan bergaya Gothi/Renaissance Revival dari Pierre Cuypers yang juga merancang Rijksmuseum

Ada 2 tipe kereta, Sprinter dan InterCity, dan di layar yang bisa saya temukan adalah kereta Sprinter ke Lelystad Centrum via Almere Centrum. Aaah, mungkin ini kali yah... habis nggak ada tulisan Almere Buiten sama sekali di layar. Saya pikir-pikir, pasti ini. Lalu saya menghampiri 2 ibu-ibu untuk memastikan apakah saya sudah benar mencari kereta saya. Jujur saja, mereka nggak tahu naik kereta yang mana kalau ke Almere Buiten dan mereka menyarankan saya naik kereta tersebut. Enaknya traveling di Belanda, semua orang bisa berbahasa Inggris, bahkan petugas jaga toiletnya. Dari tua sampai muda, kita bisa tanya ke siapa saja dan mereka akan menjawabnya dengan helpful. Oke, saya naik deh. Kereta mulai berjalan cepat, saya deg-degan apakah saya sudah di jalur yang benar. 

Lagi bengong di kereta memandangi pemandangan yang lewat di jendela, saya lalu disentuh sama seorang ibu-ibu berkulit hitam yang duduk di samping saya. 
"Hi, dear, where are you from?"
"Indonesia," kata saya sambil nyengir.
Obrolan kami mulai panjang. Dia adalah seorang imigran Suriname yang pernah au pair di New York. Kembali dia bercerita bahwa dulu dia pernah sendirian ke Amerika dan mengalami hal yang kurang lebih sama dengan saya sekarang. "I wish my daughter have a courage like you."
"You're too kind," kata saya malu dan bangga sekaligus. 

Perasaan saya mulai nggak enak, kereta ini melewati beberapa stasiun tanpa berhenti. Lalu tiba-tiba ada pemberitahuan "Next stop: Almere Centrum." Ibu itu turun dan menanyakan saya turun di mana, "Okay, Almere Buiten." Saya lalu duduk lagi. Merasa cemas karena kereta terus-terusan melewati beberapa stasiun. Saya lalu bertanya ke cewek yang masih duduk di kereta yang sepi ini. 

Tuh kan bener! Nyasar! Setelah Almere Centrum, pemberhentian berikutnya adalah Lelystad Centrum, yang juga pemberhentian terakhir! Seharusnya saya naik kereta InterCity karena berhenti di tiap stasiun, sementara yang saya naiki adalah Sprinter, jenis kereta ekspress yang berhenti di stasiun tertentu saja. Cewek itu lalu berbaik hati mencarikan jadwal kereta yang benar dari Lelystad Centrum melalui smartphone-nya. Dia lalu menyuruh saya naik kereta berikutnya dan turun di Almere Buiten. Lalu, masalah mulai muncul di kepala saya, tiketnya hangus dong? Cewek itu bilang, sebenarnya tiket itu sudah nggak berlaku, tapi kalau ada pemeriksaan tiket, jujur aja kalau kamu nyasar. Saya juga sempat mengabari Mbak Maria, host saya, kalau saya nyasar naik kereta dan akan terlambat datang memakai smartphone cewek itu. Baik banget deh pokoknya. 

Di Lelystad Centrum, cewek itu mengantar saya ke peron yang benar dan kita dadah-dadahan. Orang Belanda baik-baik banget. Lalu saya hepi sudah sampai di Almere Buiten, dan mencari rumah Mbak Maria yang 10 menit jalan kaki ke stasiun itu nggak gampang. Banyak orang yang nggak tahu alamatnya dan saya terpaksa jalan kaki tanpa arah tetapi malah makin jauh! Saya lalu mendekati ibu-ibu bertampang Asia yang baru pulang kerja dan menanyakan alamat.
"Filipino?" tanyanya, tampang ibu itu sih memang seperti Filipino.
"No, Indonesian. Do you know where is this address?" tanya saya lagi. Ibu itu lalu bertanya pada bapak-bapak yang menjemputnya, perkiraan saya itu suaminya. Bapak itu lalu memencet-mencet GPS mobilnya.
"Come on, we take you there."
"Is that okay?"
"Sure, no problem."
Hah, dianterin! Saya lalu ditanya-tanya dari mana, ngapain ke Belanda, ngapain ke Almere. 5 menit berkendara lalu sampai di depan rumah Mbak Maria. Saya mengucapkan terima kasih banyak kepada pasangan itu dan dadah-dadahan. Sampai di rumah, Mbak Maria memeluk dan menyambut saya seperti keluarga, lalu menawarkan makan malam. 

Hari ini banyak banget yang bantuin sepanjang perjalanan. Saya jadi makin optimis bisa survive dengan gampang di Eropa. Ternyata benar kata teman, orang Belanda memang baik-baik! 

-@travelitarius work hard, travel hard
Read More
Day 4: 11 Juni 2014

Francois menanyakan apa agenda jalan-jalan saya hari ini ketika kami minum teh bersama di pagi hari. Saya memberikan sekotak teh hitam celup dari Indonesia, yang langsung diseduh olehnya di gelas. 
"The Louvre," kata saya.
"Great! Wait here." Dia lalu pergi menuju kamarnya dan kembali dengan selembar kartu di tangan. Ternyata itu kartu terusan tahunan (yearly pass) Louvre yang dia miliki. "I don't know if you should use this for your admission." Dia lalu menunjuk foto dirinya di kartu, "do you have a photo ID? Attach it here and nobody would know you are not Francois Belcour."
Hahaha! Ibu ini menyarankan saya masuk pakai kartunya secara ilegal. Sebagai Parisien yang bisa 2 kali sebulan mengunjungi museum ini, dia gabung ke membership tahunan museum agar bisa bebas keluar masuk tanpa biaya lagi. Tempting, tapi kalau nanti barcode-nya di-scan dan muka dia yang muncul di komputer, saya bisa digelandang keluar karena bisa dituduh mencuri kartu. Enggak deh, saya bayar aja 12 euro buat admission fee

Saya berangkat pagi-pagi supaya nggak kena antrian panjang sekitar pukul 09.00. Tetep aja sik, kena-kena juga. Pas masuk piramida kacanya, saya senyum-senyum sendiri. Monalisa mana Monalisa...

Excited luar biasa!
Di hall ini kita bisa membeli tiket dari 3 loket masing-masing wing: Sully, Richeliu, Denon
Saya sudah pernah menulis Louvre for Dummies yang memberitahukan karya seni yang paling sering dikunjungi wisatawan ketika berkunjung ke Louvre. Silakan dibaca untuk mengetahui lebih lanjut tentang apa saja yang disimpan museum dengan jumlah pengunjung tertinggi di dunia ini. 

Belum puas muterin museum beberapa jam, saya diundang lunch bareng anggota Couchsurfing asal Mesir. Namanya Mr Ahmed, seorang akademisi yang sedang menghadiri konferensi di Palais de Congres, semacem JCC-nya Paris. Saya diundang makan siang karena saya pernah post di grup Muslim Couchsurfer bahwa saya tertarik untuk meet-up dengan saudara sesama Muslim di Eropa. Terlebih, Mr Ahmed sangat suka rendang, jadi sebagai balasan sudah mentraktir saya hari ini, next time kalau dia ke Jakarta, saya akan mengundangnya untuk makan rendang. Kami makan bersama 1 dosen UNS yang juga teman dekat Mr Ahmed, namanya Mbak Asti. Ini baru pertama kalinya saya duduk makan di restoran Prancis, dengan menu yang luar biasa enak dan mengenyangkan. Kami mengobrol ngalor-ngidul, Mbak Asti memuji saya karena berani pergi ke sini sendirian (duh, jadi malu). Ahmed cerita bahwa kemarin, dia baru saja kecopetan di Eiffel Tower dan hilang beberapa ratus euro. Padahal, 5 detik yang lalu baru saja dipegangin. Copet siluman!

"It's just money," kata dia entengnya. Kalau saya, pasti sudah nangis-nangis kejer di KBRI. Jangan taruh uang besar di dompet, ya peeps.

Saya berpisah dengan mereka di pintu Centre Georges Pompidou, "If you need help or anything while you are traveling, just send me a message, okay? You are like my daughter now. Just don't hesitate to contact me anytime." Saya terharu, inilah yang saya temukan di Couchsurfing, seorang asing bisa mendadak menjadi teman atau keluarga sendiri, di negara asing pula. 

Marais Quarter menjadi tujuan tersesat saya selanjutnya. Saya suka wilayah ini!


Marais Quarter

Place des Vosges
Puas muter-muterin Marais sambil lihat-lihat toko, saya pun ke Galeries Lafayette, mal paling terkenal di Paris. Saya sih males lama-lama di sini karena banyak orang sebangsa belanja barang mewah. Tujuan utama saya ke sini adalah view Paris dari rooftop-nya! Gratis lagi :)

Paris Opera dari rooftop Galeries Lafayette
Grand as hell
Capeeeek jalan kaki dari pagi. Saatnya pulang ke rumah Francois. Dia sudah janji kita akan dinner bareng bersamanya di rumah. Sore itu saya habiskan untuk membantu Francois memasak dan makan malam. Saya belajar darinya bahwa filosofi masakan Prancis adalah jangan sampai rasa asli bahan makanan hilang. Misalnya, kalau kita memasak ikan, cukup tambahkan sedikit garam dan merica agar rasa manis dan segar ikannya tidak hilang. Sebisa mungkin, rasa aslinya tetap ada ketika terasa di lidah. Wah, beda banget sama makanan Indonesia! Dan memang lho, walaupun mereka minum bumbu masaknya, makanannya tetep kaya rasa. Sambal sachetan yang saya bawa dari Indonesia jadi nggak kepake. 

Hari terakhir di Paris selesai! Saya akan kembali lagi ke sini sekitar 43 hari yang akan datang untuk pulang menggunakan Malaysia Airlines lagi. Besok siap-siap ke Amsterdam pakai Megabus selama 8 jam. Yoo-hoo...

-@travelitarius she wish she will spent another full day to visit Louvre again. Amin.
Read More
Day 3: 10 Juni 2014

Karena Francois memberikan saya kunci apartemennya, saya bebas pergi dan pulang kapan pun. Sumpe deh, baik banget ibu ini. Sebelum berangkat ke kliniknya (Francois adalah seorang psikiater), saya minum teh bareng dan mengobrol tentang pekerjaannya sehari-hari. Setelah ditinggal kerja, saya bersiap untuk jalan-jalan. Sesuai sarannya, saya bisa naik bus nomor 72 yang melintas sepanjang sisi Sungai Seine untuk melihat masterpiece-nya Paris. 

Begitu keluar dari gedung, wuuussshh... angin paginya dingin! Saya lalu merapatkan jaket dan syal sambil berjalan terus ke arah sungai, menuju halte bus. Karena masih orientasi kiri dan kanan lalu lintas yang berbeda dari Indonesia, sukseslah saya naik bus 72 yang salah arah. Awalnya duduk tenang merasa benar, tetapi kok lama-lama makin jauh dari pusat kota ya... bodoh, bodoh. Saya cepat-cepat turun di halte berikutnya dan naik bus 72 arah sebaliknya yang benar. 

Saya masukkan tiket ke mesin validasi, ditolak! Supirnya bilang "Tiket nggak berlaku perjalanan bolak-balik." Belakangan saya baru tahu kalau single ticket ini berlaku untuk transfer bus dalam waktu 90 menit, tetapi tidak boleh transfer bus dengan nomor sama. Yaaah... sia-sia deh tiket saya gara-gara kebodohan ini! 1.7 euro itu berarti loh buat backpacker miskin.

Menavigasi arah dan letak di Paris itu gampang banget. Sungai Seine kuncinya. Sungai ini membelah kota tepat di tengah-tengah. Kita tinggal lihat, kita sedang berada di sisi sungai sebelah mana untuk berjalan ke arah yang benar. Ternyata benar saran Francois, bus 72, yang melintas di sisi Seine memang melewati hampir semua objek wisata penting di Paris. Kalau punya budget lebih, silakan naik perahu atau kapal yang menyusuri sungai karena memang Seine-lah jantung kota Paris, tempat di mana hampir semua yang penting-penting dibangun. 

Yang penting-penting itulah yang saya kunjungi hari ini:
Notre Dame Cathedral: katedral yang sudah berumur 800 tahun ini jadi destinasi pertama saya. Terletak di Ile de la Cite, pulau di tengah sungai ini masuknya gratis. Gereja ini juga dianggap salah satu contoh the finest French Gothic architecture. 10 bel raksasa dipasang di menara-menara gereja ini, yang terberat sampat 13 ton dan sampai abad ke-20 masih dibunyikan secara manual alias pake tangan. (Metro Line 4: Cite)

Majestic as hell
Inside Notre Dame Cathedral
This is what I am looking for in Europe
Menuju Latin Quarter karena mau melihat Pantheon dan Sorbonne, saya melewati Pont del'Archeveche yang penuh dengan gembok cinta. 
Kabarnya, pagar ini mau dicopot karena terlalu berat dan takut jatuh ke sungai
Sampai di Pantheon, saya terkena hujan deras dan terpaksa neduh dulu. Deuuuh... payung ketinggalan di apartemen! Secara umum, fasad Pantheon Paris sama dengan Pantheon Roma, tetapi kalau diperhatikan, kubahnya mirip kubah St Paul's Cathedral di London. Pembangunannya dimulai tahun 1757 dengan tujuan awal sebagai gereja, konstruksinya full marmer dan batu. Sekarang, gedung bersejarah ini digunakan untuk mengubur pahlawan dan bangsawan Prancis. (Metro Line 10: Cluny La Sorbonne) 
Kubahnya lagi direnovasi, jelek kalo difoto
Hujannya waktu itu cukup lama, membuat saya stuck di teras Pantheon hampir 1 jam. Begitu hujannya mulai gerimis, saya terobos dan memutuskan untuk langsung ke Basilica du Sacre-Coeur di Montmartre, titik tertinggi Paris kedua setelah Eiffel Tower. (Metro Line 2: Anvers)
Finally, hujannya berhenti!
View dari teras basilika
Hati-hati, di area basilika ini, terdapat orang-orang berkulit hitam yang menawarkan gelang persahabatan. Tapi itu tidak gratis sodara-sodara, kamu harus membayar gelang itu. Malah, ada trik yang langsung memakaikan gelang tersebut ke tangan, dan minta duitnya! Egile, apa-apaan luh!? Banyak turis yang menyerah karena mereka berkelompok dan mengintimidasi. Serem yah! Yang terbaik menghindari mereka adalah, masukkan tangan ke kantong celana atau jaket dan berjalan cepat melewati mereka. 
Moulin Rouge, tiketnya mahal banget! 100 euro! Cis...
Puas keliling Montmartre sambil lihat-lihat suvenir, saya lalu pergi ke Les Invalides, museum tentara Prancis. Nggak, saya nggak sampai masuk, saya tertarik sama bangunannya yang super megah dan mewah yang kubahnya mendominasi langit Paris. Bahkan kubah ini menginspirasi Amerika untuk membangun persis sama untuk The Capitol. Invalides menyimpan jasad Napoleon Bonaparte dan putranya, Napoleon II, serta jenderal dan kaisar Prancis lainnya. (Metro Line 13 dan 8: Invalides)
Sisi utara Invalides
Invalides dan Pont Alexander III
Grand Palais
Ecole Militaire (Sekolah Militer)
Pake tongsis biar eksis
Apa benar terasa aura romantis di Paris? Penglihatan pertama, saya belum merasakannya karena memang saya sendirian ke sana, tidak dengan orang yang disayang, misalnya Mama atau pacar (yang juga nonexistent). Tapi kok penglihatan kedua dan seterusnya, tetep gak berasa! Hahaha... 

Kaki rasanya pegel banget udah jalan terus. Saya memutuskan untuk pulang ke apartemen Francois dan nonton live streaming debat kandidat capres, hehe. Biarin. 

-@travelitarius maybe she's just not a romantic person
Read More
Day 2: 9 Juni 2014

Akhirnya penerbangan menyiksa selama 13 jam selesaaaai! Capek luar biasa, padahal duduk dan makan doang. Saya sampai di Charles de Gaulle Airport (CDG) Terminal 1 jam setengah delapan pagi hari, dan siap-siap menghadapi imigrasi Prancis! Terminal 1 ini kecil, berbentuk lingkaran, dan langit-langitnya rendah. Sampai ke gedung terminal, saya ikutan mengantri imigrasi yang sangat panjang untuk antrian paspor non-EU. Bandara utama kota Paris tersebut terletak sekitar 25 km dari kota dan bandara kedua tersibuk di Eropa setelah London Heathrow. Untuk ke kota, saya memilih menggunakan RER B (biaya 10 euro-2015), sudah termasuk transfer ke metro, dan memakan waktu 40 menit. 

CDG terminal 1: on my way to immigration!
Looooooong queue
Setelah mengantri paling tidak 45 menit, tiba giliran saya maju ke loket imigrasi, "Bonjour," sapa saya dengan pengucapan Bahasa Prancis asal-asalan. Petugas ngeliat muka saya sebentar, mencocokkan dengan visa, lalu cap cap cap, selesai. Hah, gitu doang? Nggak ditanya apa-apa? Horeee... masuk Eropa! Berikutnya, ambil bagasi dan bongkar plastic wrap-nya! Menurut lo gampang bongkar plastic wrap dengan pulpen? Saya jadi tontonan orang di bandara pas ngebongkar lilitan plastik lengket itu, bener-bener nggak praktis. 

Bongkar plastic wrap pake pulpen biar greget
Untuk naik RER B, kita harus ke terminal 3 dulu menggunakan shuttle train gratis CDGVAL. Ikuti saja petunjuk arah menuju CDGVAL. Sampai ke stasiun RER B di terminal 3, saya membelanjakan euro pertama saya dengan tiket RER dan carnet (10 lembar single ticket). So far so good karena saya sudah pernah lihat instruksi naik CDGVAL dan RER di YouTube. 

Dalam kereta RER, saya menemukan bahwa populasi kulit hitam di Prancis sangat banyak, sebagian besar mereka adalah imigran Afrika yang sudah turun temurun tinggal di Paris. Di dalam kereta ini juga, saya menemukan pengemis dengan membagikan amplop bertuliskan kata-kata sedih. Iiiiih, Indonesia banget!

Seperti yang sudah pernah saya ceritakan di post tentang metro Paris, rute metro dan RER memang sangat rumit kalau dilihat di peta. Tetapi, setelah beberapa saat orientasi, ternyata sangat mudah navigasi rute. Saya transfer ke metro di Cluny La Sorbonne, dan turun di stasiun metro Charles Michels. Sesampainya di gedung apartemen Francois, saya lalu bingung, gimana caranya ngebel? Saya asal pencet tombol di depan pintu, sampai tiba-tiba ada yang keluar, lalu saya menyelinap masuk. 

Petugas concierge apartemen Francois guanteng. Mukanya tipikal cowok Prancis yang di film-film. Sayang nggak bisa Bahasa Inggris, jadi nggak bisa digoda, haha. Backpack saya dititipkan ke ruang penitipan concierge, lalu saya pakai toilet umum untuk bersih-bersih muka dan sikat gigi. Setelah selesai, EXPLORE PARIS!

Apartemen Francois deket banget sama Eiffel Tower, dan itu tujuan pertama saya. Cuaca waktu itu cukup enak untuk jalan-jalan, angin sejuk dan matahari hangat. Pertama kali melihat Eiffel Tower, saya langsung terharu. Maaak... aku sampe di Eiffel, maaak...

Happy face
Karena masih capek, saya cuma muter-muter Eiffel Tower, Trocadero, dan Arc de Triomphe. Capek jalan kaki, akhirnya saya naik bus sepanjang Sungai Seine untuk melihat kota dengan cepat. Sorenya, saya menunggu Francois pulang kerja jam 4 sore di Mal Beaugrenelle yang terletak persis di depan gedung apartemennya. Langsung nyari wifi gratisan buat ngabarin orang rumah. 

Saya menghabiskan sore dan malam bersama Francois dan keluarganya. Kami banyak mengobrol tentang negara masing-masing. Malam itu saya tidur cepat karena masih jet lag, bersiap-siap tenaga untuk besok jalan lebih jauh lagi!

-@travelitarius visions are worth fighting for


Read More
Day 1: 8 Juni 2014

Selama 50 hari ke depan, saya akan menulis 1 hari 1 post tentang travel diary saya selama traveling ke Eropa sendirian. Diary ini saya compile dari buku diary yang pernah saya bawa-bawa ke sana, kejadian, kesialan, kesan, cerita, dan semua yang pernah terjadi selama di sana. Mungkin saya akan malas luar biasa menulis setiap hari, tetapi ini sebagai aksi melawan lupa dan berbagi cerita ke pembaca. 

Tepat 1 tahun yang lalu saya sedang dalam perjalanan menuju bandara Soekarno-Hatta Terminal 2 untuk PERGI KE EROPAAAH! Penerbangan akan dibagi menjadi 2 leg. Leg 1 Jakarta ke Kuala Lumpur menggunakan Lion Air JT280 keberangkatan pukul 11:40. Leg 2 Kuala Lumpur ke Paris menggunakan Malaysia Airlines MH20 keberangkatan pukul 23:40 waktu setempat. 

Saya diantar oleh sekeluarga saya ke bandara. Waktu itu perasaan saya campur-campur, ada sedih, senang, khawatir, takut, dan semangat. Jujur saja, waktu itu lebih banyak takutnya dari pada senangnya. Mungkin kalau saya punya teman jalan, saya nggak akan setakut itu. Tapi saya selalu mikir ini di kepala, "... remember why you are started... remember...

Selfie before farewell!
Setelah memeluk keluarga saya untuk berpamitan dan meminta doa kepada orang tua, saya pun masuk ke check-in hall terminal 2. Kali ini saya benar-benar sendirian. Saya terus-menerus melihat keluarga saya yang sedang berjalan keluar terminal, ada perasaan ingin menyerah saja saking takutnya. Tapi untung kaki saya nggak pernah dengerin otak, dia jalan terus sampai ke konter check in dan ke gate keberangkatan. 

So far so good. Saya sampai di KLIA2 yang alaihim gedenya dengan berjalan santai sambil foto-foto runway. Waktu itu, saya nggak cukup banyak uang buat pergi ke pusat kota KL walaupun transit 9 jam-an. Saya keliling bandara aja sambil ngenet dan nulis diary di KFC. Bosen ngenet, saya mulai mendatangi toko-toko buku dan membaca. Pindah ke KLIA, saya langsung saja check in MH20 walaupun jam keberangkatan masih sekitar 5 jam lagi. Bosen, saya tiduran di viewing gallery, ngeliatin pesawat pada parkir dan pergi. 

Viewing gallery KLIA2 cuma ngeliatin A320 doang, sih, hehehe
MH boarding pass
Pesawat yang saya naiki adalah pesawat komersial terbesar di dunia, A380-800! Yihaaa... akhirnya kesampaian juga naik mama bird ini! 

A380-800, the biggest commercial aircraft in the whole planet (image courtesy of www.planes.cz)
Pesawat full 2 lantai ini melayani rute London Heathrow dan Paris CDG untuk maskapai MH. Kalau ditanya, "Lu nggak takut naik MH?" karena memang waktu itu MH370 baru-baru saja hilang, saya jawab aja "Bismillah aja. Lagian, lebih besar peluangnya gue mati dalam perjalanan ke bandara dari pada pas di pesawat." Eh, beneran loh, ada statistiknya. 

Saya suka bandara dan stasiun karena di dua tempat itu, banyak cerita dan kebahagiaan. Traveler pergi ke tempat yang baru, keluarga yang mengunjungi satu sama lain, teman yang lama tidak bertemu, atau perjalanan pulang ke rumah. 

Pas saya sudah duduk anteng di deket gate, petugas memberitahukan bahwa gate dipindah dan penerbangan ditunda 45 menit! Apaah? Saya langsung WhatsApp Francois, host Couchsurfing saya di Paris dan memberitahukan bahwa saya akan terlambat datang. Awalnya, saya akan bertemu dia sebelum berangkat kerja. Lalu, karena delay, Francois bilang, taruh saja backpack saya di concierge apartemennya karena dia akan sudah pergi bekerja dan akan kembali sore hari. Oke, problem settled dan saya sudah tahu caranya dari Charles-de-Gaulle Airport ke apartemennya. 

Selama 13 jam perjalanan non stop dari KL ke Paris, MH memberikan 2x makan besar. Sekali dinner dan sekali breakfast, lengkap dengan appetizer, desert, dan snack. Kursinya cukup luas, diberikan bantal dan selimut, minuman non-stop, dan cabin crew-nya helpful. 13 jam itu saya nggak bisa tidur karena masih khawatir sama perjalanan panjang ini, lalu saya habiskan untuk menonton film dan serial dari AVOD yang ada di tiap kursi. 

Off we go to Paris!

-@travelitarius I found happiness in the simplest of things
Read More
Previous PostOlder Posts Home