Menemukan Saudari Seiman di Hanover #OneYearAgo

No Comments
Day 10: 17 Juni 2014

Bersyukurlah buat kita yang bisa beragama Islam dengan nyaman dan harmonis di Indonesia ini. Setelah berpisah berurai air mata bersama Jenny, saya pun pergi ke Hanover untuk bertemu Sonja, seorang Muslim asal Jerman. Awalnya saya nggak punya pikiran sama sekali pergi ke kota terbesar ketigabelas di Jerman ini. Tetapi undangan Sonja susah saya tolak. Akhirnya, saya pun menyempatkan diri mampir di kota pameran ini semata-mata karena ingin ngobrol dengannya. Perempuan Jerman yang pindah agama ke Islam? Tell me more about it!

Jarak 358 km yang memisahkan Aachen dan Hanover membuat perbedaan besar. Kalau di Dueren saya harus mendobel celana dengan legging karena masih sejuk, di Hanover saya justru kepanasan. Secara umum, sepenglihatan saya, Hanover adalah tipikal kota di Jerman dengan rathaus (city hall) sebagai bangunan utama di pusat kota, sungai kecil yang melintas, taman-taman terbuka, dengan transportasi tram. 

Sonja baru saja selesai bekerja ketika saya sampai di rumahnya. Sebagai seorang nanny, dia selalu dikelilingi anak kecil dari pagi sampai siang. Dia memiliki 2 anak, laki-laki dan perempuan yang masih sekolah primary. Siang itu, setelah lunch bersama dengan sosis Jerman 100% halal dan roti, saya pun jalan-jalan bersamanya di kota yang cukup membosankan ini.

Hidup Sonja cukup berwarna. Sewaktu masih remaja, dia pertama kali membaca terjemahan Al-Quran dan membandingkannya dengan Alkitab. Merasa tertarik dengan ajaran Islam, dia pun convert di Jerman. Waktu itu umurnya masih 20-an. Beberapa tahun kemudian, dia menikah dengan pria Muslim asal Tunisia dan tinggal di sana. Walaupun penduduk Jerman bukan manusia religius, keluarga Sonja awalnya menolak perpindahan agama tersebut karena selama ini mereka adalah umat gereja. 
My sister
Pernikahan tersebut gagal, suaminya adalah seorang abuser dan mereka pun bercerai. Sonja menjadi single parent bagi kedua anaknya dan kembali pindah ke Jerman untuk memulai hidup baru. Ternyata menjadi Muslim di Jerman tidak gampang. Jumlah imigran Turki yang besar nggak begitu membawa pengaruh Islam dalam kehidupan di sana. Selain karena imigran Turki bukan umat Islam yang taat, mereka juga terkenal eksklusif. 

Untuk mendapatkan daging halal, Sonja harus langganan daging ke tukang daging bersertifikat. Pembangunan minaret dan menggaungkan adzan dilarang. Mesjid pun terkotak-kotak umatnya, ada masjid Turki, Iran, India, dll. Tidak bisa bebas memakai jilbab. Ketika anak perempuannya memakai jilbab, Sonja dituduh pemaksaan terhadap anak. Anak perempuannya pun pernah ditegur karena memegang garpu di tangan kanan, bukan di kiri. Masih banyak diskriminasi terhadap Muslim, khususnya bagi perempuan yang berjilbab dalam hal pekerjaan dan pendidikan. 

Saya membawa oleh-oleh mukena untuknya. Dua lembar kain penutup aurat ini ternyata nggak pernah dia lihat sehingga dia bingung memakainya. Lalu saya ceritakan bahwa mukena ini praktis dibawa-bawa untuk shalat walaupun tidak sedang memakai baju panjang dan mukena dibuat dari berbagai macam jenis bahan dan warna. Dia memeluk saya terharu dan mengucapkan terima kasih. 

Dalam setiap ceritanya, saya tidak hentinya bersyukur. Beruntunglah saya tinggal dan berislam di Indonesia, sebuah negara yang asimilasi agama dan budayanya begitu erat sehingga toleransinya tinggi. Saya bebas memakai atau tidak memakai jilbab tanpa ada hukuman. Saya bebas berjabat tangan dengan laki-laki. Saya terbangun dari tidur karena azan subuh begitu menggema. Saya gampang sholat di mana pun. Saya berpuasa dengan normal dengan suasana Ramadhan yang damai. Dan saya bebas melakukan segala hal yang dilarang di negara Arab seperti voting, menyetir, pakai baju dan make up mencolok, dan berenang. 

I am very blessed.

Marhaban yaa Ramadhan. Selamat berpuasa bagi teman-teman.

-@travelitarius this year, she will be fasting 14 hours. Piece of cake. She had worse in Europe: 19 hours. 
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 shouts

Post a Comment